Sukses

10-12-1936: Raja Inggris Turun Takhta Demi Janda

Takhta Edward VIII berakhir di hari ke-325. Ia rela menyerahkan mahkotanya sebagai Raja Inggris demi seorang perempuan. Janda dari Amerika.

Liputan6.com, London - Sepucuk surat ditulis Edward VIII pada 10 Desember 1936. Kurang dari setahun dimahkotai sebagai Raja Inggris, ia memutuskan untuk turun takhta. Demi seorang perempuan.

"Saya, Edward VIII, Raja Inggris...dengan ini menyatakan keputusan saya yang tak bisa dibatalkan, untuk meninggalkan takhta untuk diri saya sendiri dan juga untuk anak keturunan saya," tulis dia dalam surat tersebut, seperti Liputan6.com kutip dari Vancouver Sun.

Ia menandatangani surat penyerahan takhtanya, Kamis pagi 10 Desember 1936, di depan saudara-saudaranya dan para pengacara.

Kekuasaannya berakhir di hari ke-325. Ia bahkan belum sempat dinobatkan secara resmi sebagai raja.



Hari berikutnya, Parlemen Inggris dan House of Lords (Dewan Bangsawan) mengeluarkan 'Demise of the Crown' -- persetujuan akhir kekuasaan seorang raja, ratu, atau kaisar akibat meninggal dunia atau menyerahkan kekuasaan alias turun takhta.

"Langkah dramatis itu (untuk turun takhta) menjadi klimaks sepekan penuh ketegangan -- paling tegang yang pernah dialami Inggris sejak Perang Dunia I," demikian dilaporkan Canadian Press kala itu. "Cinta sang raja pada Wallis Warfield Simpson, perempuan kelahiran Amerika Serikat yang dua kali bercerai dengan suami sebelumnya, adalah alasan mengapa ia turun takhta.

Di masa mudanya, Edward VIII dikenal sebagai playboy --pecinta banyak wanita -- di masa pemerintahan ayahnya Raja George V. Pada tahun 1919 ia bahkan pernah mengirim surat cinta untuk istri seorang anggota parlemen Inggris. 

Ia bertemu dengan Wallis Simpson pada Januari 1931, awalnya sama sekali tak tetarik, namun setelah beberapa pertemuan, benih-benih cinta tumbuh di hati sang pangeran. Perempuan asal AS itu bahkan sempat jadi kekasih gelapnya -- meski masih berstatus sebagai istri orang.



Masalah mencuat pada 20 Januari 1936, saat Raja George V mangkat, dan sebagai putra mahkota bernama lahir Edward Albert Christian George Andrew Patrick David itu dinobatkan sebagai penguasa dari Wangsa Windsor.

Pada 1 Desember 1936, Edward VIII memberitahukan pada PM Inggris kala itu Stanley Baldwin bahwa ia berniat menikahi kekasihnya -- yang secara resmi telah bercerai pada 27 Oktober. Namun Baldwin menentang keras niatnya itu.

"Kabinet Siap Mundur, Itu yang Dikatakan Baldwin pada Raja," demikian headline Vancouver Sun kala itu.

Geger pun terjadi. Kepala Gereja Inggris tak mengizinkan orang yang bercerai menikah lagi saat pasangannya masih hidup. Uskup Bradford pun mengeluarkan pernyataan menetang.

Sang raja tak menyerah, ia mengajukan "perkawinan morganatic" -- yang mengizinkan ia menikahi Simpson, namun istrinya itu tak bakal jadi ratu. Perdana Menteri menolaknya. Hingga akhirnya Edward VIII mundur -- sebuah momentum yang dianggap kemenangan konstitusi. 



Setelah lengser, Edward meninggalkan Inggris Raya pada 11 Desember 1936, bergabung dengan Simpson di sebuah villa di Cote d'Azur, Prancis.

Mereka akhirnya menikah pada 3 Juni 1937. Menjadi Duke dan Duchess of Windsor, terus bersama sampai Edward meninggal dunia pada 1972. Keduanya dimakamkan berdampingan di pemakaman kerajaan di Frogmore, Windsor.



Sementara itu, pada 12 Desember 1936, Inggris punya raja baru. Adik Edward, Duke of York, dipilih jadi pengganti. Menjadi Raja George VI -- ayah dari Ratu Elizabeth II.

Tak terkira beban yang dipikul Duke of York atau Bertie -- yang gagap-- gara-gara ulah kakaknya itu. Istrinya, yang kemudian menjadi Queen Mother, tak pernah memaafkan Edward VIII dan Simpson.

Selain penyerahan takhta Edward VIII, tanggal 10 Desember juga diwarnai sejumlah kejadian penting.  Pada 1917, penghargaan Nobel Perdamaian dianugerahkan pada Palang Merah Internasional.

Sementara, pada 1941, tentara Jepang menginvasi Pulau Luzon di Filipina. (Ein)