Sukses

4 Kisah Korban Selamat Pembantaian Massal Taliban Pakistan

Ini kisah korban selamat dari pembantaian massal di Pakistan. Tidak ada kelas 9 di APS lagi. Dawood, 15, adalah satu-satunya yang selamat."

Liputan6.com, Peshawar - Horor pembantaian massal di Army Public School and Degree College, sekolah yang dikelola Angkatan Darat di Peshawar, Pakistan telah berakhir. Jumlah korban tewas terakhir tercatat 145 orang, -- versi CNN -- dengan 132 anak serta 10 staf.

Serangan sekolah Peshawar pada Selasa 16 Desember yang dilakukan kelompok Taliban, disebut-sebut paling berdarah yang pernah terjadi di Pakistan. Korban selamat dari serangan tersebut mengalami trauma selain luka-luka.

Namun ada pula yang terhindar dari maut karena kesiangan bangun tidur sehingga terlambat ke sekolah. Berikut 4 kisah mereka.

2 dari 5 halaman

Kesiangan Karena Alarm Rusak

Anak laki-laki ini boleh dibilang paling beruntung. Karena alarmnya rusak dan tak berbunyi, Dawood Ibrahim kesiangan sehingga tak masuk sekolah saat serangan sekolah Peshawar itu terjadi.

Kini, seluruh teman sekelas di sekolah yang dikelola militer Pakistan meninggal. Hanya ia yang tersisa dari kelas 9.

Dawood Ibrahim pun bersyukur atas berkat yang diterima kala itu. Terselamatkan dari maut.

Kisah remaja berusia 15 tahun itu terungkap setelah tweet bertuliskan 'tidak ada kelas 9 di APS lagi ... Dawood, 15, adalah satu-satunya yang selamat'.

Kakaknya, Sufyan Ibrahim, menegaskan hal itu kepada Express Tribune Pakistan seperti dimuat Daily Mail. Kamis (18/12/2014).  "Ini adalah takdir. Tak seorang pun dari kelasnya selamat. Seluruhnya dari mereka tewas."

Diyakini bahwa satu kelas itu terbunuh oleh salah satu pria bersenjata yang meledakkan rompi bunuh diri.

Dawood pun menghabiskan waktunya setelah insiden tragis itu, dengan menghadiri acara pemakaman teman-temannya.

3 dari 5 halaman

Menahan Teriak Kesakitan

Sementara itu, cerita lain tetang pembantaian massal dari korban selamat terus terkuak satu per satu. Termasuk saat percikan darah dan daging teman-temannya ditembaki.

Ehsan Elahi menceritakan bagaimana ia bertahan hidup dengan pura-pura mati setelah ditembak dua kali di lengan, ketika militan menembaki mereka di kelas. Mengubah ruangan menjadi kolam darah dan lokasi kematian.

Dari ranjang rumah sakit, murid kelas delapan itu mengatakan ia diajarkan pertolongan pertama oleh instruktur militer di aula utama, ketika ia mendengar suara tembakan lebih dekat.

"Guru dan instruktur kami meminta kami untuk tenang, tapi suara peluru mulai mendekat dan terus terdengar lebih dekat. Pada menit berikutnya, kaca jendela dan pintu aula terkena tembakan peluru. Beberapa orang mulai menendang pintu aula," tutur dia.

Situasi panik pun melanda sekitar 100 siswa yang tengah berada di aula saat pembantaian massal itu terjadi.

"Semua orang berusaha untuk menemukan tempat untuk bersembunyi, tapi tidak ada tempat seperti itu di aula. Para siswa lalu menangis dan terus menangis sejadi-jadinya," ungkap Elahi.

"Hanya ada kursi dan bangku-bangku untuk bersembunyi di balik di aula. Aku melompat ke belakang bangku dan tiarap," tambah dia. Lalu para penyerang menyerbu masuk dan mulai menghujani para siswa dengan peluru.
 
"Aku melihat instruktur militer jatuh pertama kali. Lalu banyak temanku yang tertembak di kepala, dada, lengan dan kaki. Semua itu terjadi tepat di depan mataku. Bagian tubuh dan darah mereka muncrat seperti potongan-potongan kecil kapas di ruang kelas," tutur remaja 13 tahun itu.

"Darah hangat dan serpihan daging teman-temanku muncrat ke wajah dan bagian lain tubuhku. Itu mengerikan. Mereka terus menembakkan peluru sekitar 10 menit dan baru berhenti".

"Satu menit kemudian hening. Detik berikutnya, mereka mulai menembakkan peluru ke arah anak-anak yang menangis kesakitan atau terlihat bergerak. Aku juga tertembak dua peluru di lengan kanan."

"Aku ingin menangis keras, tapi aku menahan rasa sakit dan tidak menangis, karena itu berarti kematian akan menjemputku."

Lalu aku pun diam sejadi-jadinya. Seolah-olah menjadi jenazah, hingga diselamatkan oleh tentara Pakistan.

"Setelah sekitar 15 menit, aku mendengar beberapa tembakan dari luar. Aku pikir tentara mencapai sekolah dan mengalihkan perhatian para penyerang."

"Mereka (penyerang) berlari keluar dari aula. Tapi, aku tidak bergerak atau menangis selama 10 menit hingga tentara menyelamatkanku."

Saat dievakuasi, Elahi mengaku melihat pemandangan mengerikan di sekolahnya itu. "Aula telah berubah menjadi kolam darah dan lokasi kematian. Darah manusia, daging dan bagian tubuh berserakan di mana-mana."

4 dari 5 halaman

Guru Dibakar

Murid lain menceritakan bagaimana ia menyaksikan guru wanitanya dibakar hidup-hidup, karena berani menghadang para teroris dan meminta agar siswa-siswanya dibiarkan hidup.

"Langkahi dulu mayatku, sebelum kalian membunuh murid-muridku," kata Irfan Ullah mengingat kata Ibu guru Afsha Ahmed ketika menghadapi orang-orang bersenjata dari kelompok Taliban.

Kemudian, remaja 15 tahun itu mennungkapkan bagaimana si ibu guru disiram bensin oleh para militan. Lalu ia dibakar.

Meski dalam kesakitan, Ullah mengungkapkan Ibu Afsha sempat memberi isyarat agar agar murid-muridnya melarikan diri.

"Dia pahlawan, begitu berani. Dia melompat dan berdiri di antara kami dan teroris sebelum mereka menembaki kami," ungkap Ullah sambil menangis.

"Saya tidak membiarkan murid-muridku bersimbah darah di lantai," ucap Ullah yang sangat mengingat kata-kata terakhirnya sang ibu guru.

Irfan, yang menderita luka serius di dada dan perutnya, sempat merasa bersalah. Karena telah membiarkan gurunya tewas di tangan militan.

Ia pun berharap si ibu guru akan memaafkannya karena tidak berusaha untuk melindungi dirinya dan untuk setiap kesalahan yang pernah dibuat di dalam kelas.

"Aku merasa begitu egois karena melarikan diri, alih-alih mencoba untuk menyelamatkan guru kami yang mengorbankan hidup untuk kami," tambah dia.

5 dari 5 halaman

Pura-pura Mati

Salman (bukan nama sebenarnya), remaja yang selamat dari serangan kelompok Taliban yang menyerang sekolah milik Angkatan Darat setempat mengungkap bagaimana ia bisa terhindar dari maut.

Salman menggambarkan bagaimana berpura-pura mati, setelah ditembak di kedua kakinya oleh pemberontak yang memburu para siswa.

Sambil berbaring di atas tempat tidur di bangsal perawatan trauma Rumah Sakit Lady Reading, Salman mengungkapkan ia dan teman-teman sekelasnya berada di sesi bimbingan karir di auditorium sekolah. Ketika empat pria bersenjata yang mengenakan seragam militer menyerbu masuk.

"Seseorang berteriak kepada kami untuk turun dan bersembunyi di bawah meja," kata Salman menambahkan bahwa orang-orang bersenjata berteriak "Allahu Akbar" sebelum menembak.

"Kemudian salah satu dari mereka berteriak: 'Ada begitu banyak anak di bawah bangku, pergi dan tangkap mereka," beber Salman.

"Saya melihat sepasang sepatu boot hitam besar datang ke arahku, orang ini mungkin berburu untuk siswa bersembunyi di bawah bangku."

Salman memaparkan, ia kesakitan karena kedua kakinya tertembak, tepat di bawah lutut. Lalu ia memutuskan untuk berpura-pura mati.

"Aku melipat dasi dan memasukkannya ke dalam mulut, sehingga aku tidak akan berteriak. Pria dengan sepatu besar itu terus mencari para siswa dan menghujani mereka dengan peluru. Aku berbaring dan diam sebisa mungkin...dan memejamkan mata, menunggu tembakan lain untukku," ungkap Salman.

"Tubuhku menggigil. Aku seperti melihat kematian begitu dekat, aku tidak akan pernah melupakan sepatu boot hitam yang mendekatiku. Aku merasa seolah-olah saat kematian mendekatiku," tambah Salman.

"Orang-orang itu kemudian pergi, aku terdiam beberapa menit. Kemudian mencoba untuk bangun, tetapi jatuh karena lukaku. Ketika aku merangkak ke kamar sebelah, aku melihat pemandangan mengerikan. Aku melihat jenazah asisten kantor sekolah dibakar," tutur Salman sambil ditenangkan ayahnya, di tempat tidur berlumuran darah. (Tnt/Yus)

Baca Juga:

Horor Pembantaian Massal Bocah Pakistan

Cerita Korban Selamat Serangan Peshawar dengan Pura-pura Mati