Liputan6.com, Dhaka - Mantan Menteri Junior dalam kabinet Militer Bangladesh dilaporkan dijatuhi hukuman mati. Hukuman ini dijatuhkan karena Syed Mohammad Qaisar terbukti melakukan kekejaman perang saat perang kemerdekaan Bangladesh berlangsung 4 dekade lalu.
"Syed Mohammad Qaisar terbukti bersalah atas 14 dari 16 dakwaan. Termasuk di antaranya melakukan pembantaian, perkosaan, pemerasan, perusakan dan penyiksaan saat perang 1971 berlangsung," sebut Jaksa yang menangani kasus Qaisar, Tureen Afroz seperti dikutip dari Reuters, Rabu (24/12/2014).
Afroz menambahkan, tindakan perkosaan menjadi salah satu pertimbangan utama kenapa Pengadilan Bangladesh sampai menjatuhkan hukuman mati. Sebab, perkosaan meninggalkan luka yang dalam bagi para korbannya.
"Luka akibat perkosaan lebih dalam terasa dibanding luka akibat peluru," sambung dia.
Sesaat setelah divonis pria 73 tahun ini memilih bungkam. Namun, pengacaranya Syed Mohammad Shahjahan mengatakan menolak semua tuduhan yang dialamatkan kepada kliennya dan berencana mengajukan banding.
"Saya melihat tidak ada keadilan dalam pengadilan tersebut," sebut Shahjahan.
Selain Qaisar, pengadilan Bangladesh telah menjatuhkan hukuman mati bagi 13 orang lain dalam kasus yang sama. 1 Orang diketahui telah dieksekusi.
Pengusutan kasus kejahatan perang yang terjadi di Bangladesh mendapat dukungan penuh dari Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina. Tetapi dukungan terbuka Hasina ternyata mendapat kecaman dari lawan politiknya.
Beberapa penetangnya menuduh ada motif politik di balik dukungan Hasina. Motif ini terkait upaya pelemahan 2 partai oposisi besar Bangladesh Partai Begum Khaleda Zia's Bangladesh dan Partai Islamist ally Jamaat-e-Islami.
Perang kemerdekaan Bangladesh sendiri dilakukan demi memisahkan diri dari Pakistan. Akibat perang tersebut 3 juta orang meregang nyawa dan ribuan wanita lainnya diperkosa. (Mut)
Lakukan Kejahatan Perang, Eks Menteri Bangladesh Divonis Mati
Syed Mohammad Qaisar terbukti melakukan kekejaman perang saat perang kemerdekaan Bangladesh berlangsung empat dekade lalu.
Advertisement