Liputan6.com, Jakarta - Serpihan AirAsia QZ8501 dan sejumlah jasad penumpang yang ditemukan di Selat Karimata menipiskan harapan pesawat yang hilang sejak Minggu 28 Desember 2014 lalu secara ajaib mendarat di suatu tempat sehingga 162 orang yang ada di dalamnya selamat.
Jaket penyelamat, kepingan pesawat, dan sebuah koper kecil berwarna biru ada di antara barang-barang yang ditemukan mengambang di Laut Jawa. Sementara evakuasi korban terus dilakukan, tim pencari juga sedang berusaha mendapatkan bukti kunci untuk mengungkap misteri kecelakaan AirAsia: blackbox atau kota hitam.
"Mengevakuasi korban adalah prioritas pertama. Namun, mereka (Basarnas) juga harus mengerahkan anggota tim untuk secara simultan mencari perekam kokpit atau cockpit voice recorder (CVR) dan perekam data penerbangan atau flight data recorder (FDR)," kata Bob Francis, anggota dewan Flight Safety Foundation seperti Liputan6.com kutip dari LiveScience, Rabu (31/12/2014). "Instrumen di pesawat memancarkan sinyal yang bertahan 2 minggu dan seharusnya bisa dengan mudah diambil."
AirAsia Penerbangan 8501 putus kontak dengan menara kontrol udara (ATC) Minggu 28 Desember 2014, 41 menit setelah terbang dari Surabaya ke Singapura -- yang makan waktu 2 jam. Apa yang terjadi setelah itu masih jadi misteri, hingga alat perekam data pesawat bisa diperoleh dan dianalisa.
Dua perekam data, cockpit voice recorder (CVR) dan flight data recorder (FDR) adalah bagian dari kotam hitam -- yang senyatanya berwarna oranye.
FDR merekam ratusan pengukuran teknis seperti temperatur mesin, kecepatan vertikal dan horizontal. Sementara, CVR merekam percakapan antarpilot dan suara apapun yang dari kokpit.
"Dua kotak itu memberitahu banyak sekali data tentang apa yang terjadi," kata Francis.
Serpihan dan jasad korban memberikan informasi pada tim SAR tentang lokasi di mana pesawat berada, di dasar Laut Jawa. Namun, tim tak bisa mengandalkan teknologi GPS untuk mengarahkan mereka ke badan pesawat. Ketika pesawat mulai jatuh, kondisinya terlalu ekstrem bagi sinyal GPS untuk dipancarkan.
Oleh karenanya, tim harus mengandalkan teknologi rendah seperti dengan mengerahkan helikopter yang terbang rendah -- dengan kru yang mengintip apa yang ada di bawah air bergelombang yang ditutupi kabut. Atau menggunakan informasi dari nelayan yang mungkin menjadi saksi mata jatuhnya pesawat.
Ketika area lokasi ditemukan, maka akan lebih mudah menangkap 'ping' yang dikirimkan kotak hitam setelah kecelakaan. Francis mengatakan, kurangnya sistem pelacakan pesawat menjadi 'titik lemah' penerbangan komersial saat ini.
"Tak ada persyaratan untuk melengkapi pesawat dengan kemampuan yang bisa melaporkan posisinya setiap 15 menit," kata Francis. "Hilangnya Malaysia Airlines MH370 adalah kasus terburuk. Industri penerbangan tak terlalu responsif soal ini.
Francis menambahkan, sejumlah maskapai mempermasalahkan potensi pembengkakan biaya terkait pembaruan sistem GPS mereka. Padahal, kata dia, "jumlah itu tak seberapa dibanding dana yang harus dikucurkan untuk mencari MH370 yang tercemplung di Samudera Hindia," kara dia.
Memang, belum jelas apakah teknologi GPS akan bisa menyelamatkan banyak nyawa. "Namun, untuk saat ini mengalokasikan dana agar pesawat lebih aman harus jadi prioritas maskapai," demikian dilaporkan TIME.
Pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak di perairan antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan dengan titik koordinat 03.22.46 LS dan 108.50.07 BT dengan membawa 155 orang penumpang yang 6 orang di antaranya anak-anak dan seorang bayi. Pesawat AirAsia QZ8501 berangkat dari Bandara Juanda Sidoarjo pukul 05.12 WIB menuju Singapura.
Hingga saat ini, tim Basarnas telah berhasil menemukan 7 jenazah korban AirAsia QZ5801. Setelah penemuan ini, petugas terus berusaha mendekati KRI Bung Tomo agar seluruh jenazah yang sudah ditemukan bisa segera dibawa ke daratan. Helikopter milik Basarnas dibantu Helikopter Puma terus berusaha mengevakuasi.
Di lokasi penemuan korban AirAsia QZ8501, cuaca saat ini tidak bersahabat. Tapi Basarnas memastikan, timnya tetap melakukan evakuasi dan mencari korban lain. (Ein/Riz)