Liputan6.com, Jakarta - AirAsia QZ8501 celaka di pengujung 2014. Temuan serpihan dan jasad sejumlah penumpang di Selat Karimata memberikan petunjuk tentang nasib tragis yang dialami 162 orang di dalam pesawat yang hilang dalam perjalanan dari Surabaya menuju Singapura. Hingga berita ini diturunkan, belum ditemukan korban yang selamat.
Kini, evakuasi korban dan menemukan badan Airbus A320-200 itu menjadi prioritas. Tim penyelidik juga mengumpulkan data untuk mencari tahu mengapa pesawat bisa jatuh ke laut. Informasi awal yang didapatkan adalah terkait cuaca buruk saat kejadian dan permintaan pilot untuk ubah haluan dan naik ke ketinggian 38 ribu kaki.
Komunikasi yang dilakukan pada pukul 06.17 itu adalah kali terakhirnya, sebelum AirAsia QZ8501 menghilang dari radar tanpa mengirimkan sinyal bahaya (distress call).
Kejadian yang menimpa AirAsia adalah kecelakaan ketiga yang menimpa pesawat terkait negeri jiran, Malaysia.
Sebelumnya, pada 8 Maret 2014, pesawat Malaysia Airlines hilang dalam penerbangannya dari Kuala Lumpur, Malaysia menuju Beijing, China. Boeing 777-200 itu dan 239 orang yang ada di dalamnya raib tanpa meninggalkan jejak.
Berdasarkan data satelit MH370 berakhir di sebelah selatan Samudera Hindia. Namun hingga kini, belum ada bukti yang ditemukan untuk mendukung kesimpulan tersebut.
Hilangnya MH370 menjadi salah satu misteri terbesar dalam sejarah penerbangan. Salah satu keanehan dalam kasus tersebut adalah, mengapa pilot -- atau siapapun yang ada di dalam kabin -- membelokkan pesawat keluar dari jalur yang semestinya. Kapal terbang itu menghilang dari radar tanpa sinyal bahaya, atau petunjuk adanya gangguan cuaca.
Sementara, pada 17 Juli 2014, pesawat Malaysia Airlines MH17 ditembak jatuh di langit Ukraina timur yang bergejolak. Sampai saat ini belum jelas siapa yang bertanggung jawab atas tewasnya 298 orang penumpang dan awak kabin di dalamnya. Pihak Barat dan Rusia masih saling tuding.
Total, dari 3 kejadian tersebut, 699 nyawa melayang. Kecelakaan penerbangan sipil sepanjang tahun 2014 adalah yang paling banyak merenggut korban jiwa sejak 2005.
Seperti Liputan6.com kutip dari situs Statesman, Kamis (1/1/2015), salah satu cara untuk memastikan pesawat tidak hilang tanpa jejak adalah dengan melengkapinya dengan sistem pelacakan penerbangan (flight-tracking systems).
International Air Transport Association, perusahaan yang merepresentasikan 250 maskapai dunia, baru-baru ini mengeluarkan rekomendasi agar perusahaan penerbangan melengkapi sistem ini -- di mana pesawat bisa mengirimkan data bujur, lintang, ketinggian dan waktu setempat setiap 15 menit selama penerbangan.
"Namun, tak semua maskapai memenuhi rekomendasi itu. Sebagian beralasan standar pelacakan 15 menit adalah beban dan mahal, sementara sejumlah maskapai mengatakan butuh waktu beberapa tahun untuk memenuhinya.
Advertisement
Kebetulan Atau...
Kebetulan Atau...
Tiga pesawat terkait Malaysia celaka dalam waktu setahun. Sejumlah orang bertanya-tanya, ada apa?
Sejumlah teori konspirasi pun berseliweran pasca kecelakaan AirAsia QZ8501. Seperti yang belakangan ramai di media sosial di China. Tapi, mari kita berpikir logis.
Edward McKeogh dari Canadian Aviation Safety mengatakan, masing-masing kecelakaan tak bisa dikaitkan satu sama lain. "Yang pertama (MH370) kita masih mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kecuali kotak hitam ditemukan, atau bagian dari pesawat itu, baru kita mungkin tahu," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari situs The Globe and Mail.
Dalam kasus MH370, "Cuaca bukan faktor. Pesawat tak mengubah arah karena ada badai di depannya."
McKeogh mengatakan, lebih masuk akal mengaitkan kecelakaan AirAsia QZ8501 dengan hilangnya Air France Penerbangan 447 yang celaka di Samudera Atlantik 2009 lalu. "Cuaca jadi masalah," kata dia. "Ke depan, maskapai, kru kokpit, pilot, harus makin memerhatikan faktor ini dalam rencana penerbangan mereka."
Sementara, ahli penerbangan Arnold Barnett mengungkapkan, dalam jangka waktu lama sebuah maskapai mungkin beruntung lolos dari insiden maut. Namun, bisa jadi dalam periode pendek, sebuah maskapai mengalami insiden berskala tinggi.
"Lihat data di Abad ke-21, dari tahun 2000 hingga 2013, pada 14 tahun pertama tak ada insiden yang menimpa Malaysia atau salah satu maskapainya," kata dosen Massachusetts Institute of Technology itu.
"Apakah adil kita menuding maskapai yang selama 13 tahun terbang tanpa insiden yang merenggut nyawa, lupa bagaimana caranya terbang? Dalam hal ini, saya pikir ada unsur kebetulan."
Barnett menekankan, sementara Air Asia punya rekam jejak mengesankan sebelum insiden ini terjadi, sejumlah negara telah melakukan langkah maju untuk mengurangi risiko penerbangan.
"Secara statistik, risiko penerbangan sangat bervariasi di seluruh dunia," kata dia. Negara industri seperti AS, Kanada, sebagian besar negara Eropa barat, Australia, Selandia Baru, Israel, Jepang -- negara-negara ini memiliki risiko penerbangan lebih kecil daripada Malaysia dan Indonesia.Â
Sementara, terkait 3 kecelakaan tersebut, John Cox, ahli penerbangan sekaligus mantan kapten US Airways mengatakan, "Saya tak melihat kesamaan."
Cox menambahkan, 3 kejadian yang menimpa maskapai negeri jiran benar-benar berbeda. Menimpa 2 maskapai yang punya catatan keamanan cukup baik, dan terkait perusahaan penerbangan di 1 negara di Asia Tenggara: Malaysia. "Mereka sedang mengalami nasib buruk," kata dia seperti dimuat situs New York Times.
Kabar kecelakaan AirAsia juga mengguncang hati Menteri Pertahanan Malaysia, Hishammuddin Hussein, yang menjadi figur terkemuka terkait kecelakaan MH370. "Tak bisa dipercaya," tulis dia dalam akun Twitternya.
Tak hanya di langit, Malaysia kini juga sedang menghadapi musim hujan terburuk dalam kurun waktu beberapa tahun. Sebanyak 160 ribu orang terpaksa mengungsi, setidaknya 10 orang tewas akibat banjir yang menggenangi sebagian wilayah negeri jiran.
Sejumlah warga Malaysia yakin, mereka sedang menghadapi ujian dari Yang Maha Kuasa. "Ini saat terbaik bagi kita untuk bersatu, berhenti sesaat, merenung dan berdoa," kata salah satu pengguna Twitter, Adibah Noor. "Allah telah mengirim peringatan pada kita." (Ein/Yus)
Advertisement