Liputan6.com, Berlin - Awal tahun 2015, yang seharusnya jadi momentum keceriaan dan perayaan, warga Jerman justru terbelah. Sejak Oktober 2014 lalu, kelompok yang menamakan diri sebagai 'Patriotik Eropa menentang Islamisasi di Barat' atau Pegida aktif menggelar demo mingguan.
Yang terbesar digelar di Dresden pada Senin 4 Januari 2015 kemarin. Sebanyak 18 ribu orang menghadiri aksi protes yang digelar di tengah udara dingin, mereka meneriakkan 'Kami adalah rakyat', sambil membawa poster bertuliskan, 'Bangun'. Demonstran sayap kanan itu menentang apa yang mereka anggap sebagai 'Islamisasi'.
Namun, tak semua sepakat dengan apa yang mereka sampaikan. Demokrasi tandingan pun bermunculan di seantero Bundesrepublik Deutschland. Ribuan orang menggelar aksi di Berlin, Cologne, Dresden dan Stuttgart.
Di Berlin, polisi mengatakan, sekitar 5.000 orang memblokade jalan yang rencananya akan dilalui demonstran Pegida. Seperti dikabarkan kantor berita DPS, total 22 ribu demonstran anti-Pegida menggelar aksi di Stuttgart, Muenster, dan Hamburg.
Tak hanya dari kelompok masyarakat yang turun ke jalan. Sejumlah politisi Jerman pun menentang apa yang dilakukan Pegida.
Di Kota Cologne, pemerintah setempat mematikan lampu jalan menuju katedral. Sebagai cara untuk memperingatkan demonstran Pegida, bahwa mereka sedang mendukung 'gerakan ekstrem'.
Pemuka agama pun berpendapat senada. Pihak Katedral Cologne tak mau, rumah ibadah mereka jadi lokasi demo rasis.
"Kami tidak menganggap gerakan itu sebagai protes. Kami ingin pemeluk Kristen konservatif (yang mendukung Pegida) sadar dengan apa yang mereka lakukan," kata pemimpin katedral, Norbert Feldhoff, kepada BBC.
Hanya ada sekitar 250 pendukung Pegida ambil bagian dalam aksi di Cologne, dibandingkan demonstran tandingan yang jumlahnya ribuan.
Sebagian pusat kota Cologne juga gelap, setelah lampu-lampu dimatikan di bangunan-bangunan penting dan jembatan di sepanjang Sungai Rhine.
"Hari ini, sinyal demokrasi telah dikirimkan. Simbol ekspresi rakyat Cologne," kata Walikota Juergen Roters.
"Masyarakat ingin menegaskan bahwa kami di Cologne, tidak ingin ikut-ikutan dengan ekstremis sayap kanan dan orang-orang yang mengalami xenofobia," kata Pak Walikota. Xenofobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan berlebihan terhadap orang asing.
Di Dresden, pembuat mobil Volkswagen juga mematikan lampu-lampu di pabriknya. Sebagai penegasan sikap bahwa mereka, "mendukung masyarakat yang terbuka, bebas, dan demokratis."
Kanselir Jerman, Angela Merkel juga angkat bicara. Dalam pidato tahun barunya ia menyebut, pemimpin gerakan Pegida, "memiliki prasangka, perasaan dingin, bahkan kebencian di dalam hati mereka".
Baca Juga
Apa itu Pegida?
Advertisement
Kathrin Oertel, salah satu pemimpin protes Pegida, menyebut, kelompoknya sedang mengalami 'represi politik. "Bagaimana pendapat Anda ketika kita dihinda, disebut rasis atau Nazi secara terbuka oleh partai dan media arus utama (mainstream) hanya karena kita mengkritik kebijakan pencari suaka dan tidak adanya kebijakan imigrasi di Jerman?," kata dia.
Patriotische Europaer Gegen die Islamisierung des Abendlandes (Pegida) didirikan di Dresden oleh aktivis Lutz Bachmann pada Oktober 2014. Slogan mereka menarik pendukung dari kalangan sayap kanan dan kelompok rasis, juga hooligan atau pendukung sepakbola yang berperilaku kekerasan.
Mereka menggelar demo untuk menentang apa yang mereka anggap sebagai kebangkitan pengaruh Islam yang berbahaya di negara-negara Eropa. Namun, mereka menolak disebut rasis atau xenofobia. (Ein)