Liputan6.com, New Delhi - Taj Mahal merupakan situs warisan dunia UNESCO dan salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia yang terletak di tepi Sungai Yamuna, Agra, India.
Setiap tahunnya, situs makam yang dilapisi dengan marmer putih pada setiap sisi dindingnya ini menarik jutaan para wisatawan lokal maupun luar negeri, untuk berkunjung ke negara yang dikenal dengan tari-tarian dan musiknya.
Tidak hanya karena arsitekturnya yang indah, kisah di balik tembok Taj Mahal yang dipengaruhi kebudayaan Persia, Ottoman, India, dan Islam ini juga meninggalkan cerita memilukan antara Kaisar Shah Janan setelah kematian istri tercintanya Mumtaz Mahal ketika melahirkan putranya.
Namun sekarang, situs warisan dunia yang pernah dipulihkan oleh Lord Curzon pada awal abad ke-20 ini menghadapi polusi lalu lintas serta polusi industri dari pembakaran kotoran sapi.
Menurut pejabat tinggi negeri tersebut, sekarang ratusan ribu kotoran sapi yang dibakar di Agra menjadi tantangan baru.
"Para peneliti dari Amerika mengatakan, partikel karbon cokelat dan hitam yang dihasilkan oleh pembakaran kotoran sapi membuat permukaan marmer putih dari Taj Mahal berubah menjadi kuning," ucap pejabat senior Agra Pradeep Bhatnagar, yang dikutip dari Telegraph News, Kamis (15/1/2015).
"Mengingat dampak yang mungkin ditimbulkannya terhadap monumen tersebut, kami telah memutuskan untuk melarang pembakaran kotoran sapi di kota," tambah Pradeep.
Kotoran sapi biasa dipakai di daerah pedesaan sebagai sumber bahan bakar murah untuk penghangatan dan memasak. Kotoran tersebut dikumpulkan dan dibentuk dengan tangan pada sebuah tempat ukuran bola, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari.
Setelah kering, kotoran tersebut dimasukkan ke dalam tumpukan kotoran basah untuk melindungi dari unsur-unsur.
"Kami ke depannya akan mencoba untuk memberikan alternatif bahan bakar lain yang berasal dari sumber yang bersih dan memasaknya dengan bahan bakar," ungkap Pradeep. (Mar/Tnt/Sss)
Kotoran Sapi Bikin Marmer Putih Taj Mahal Menguning
Situs warisan dunia yang pernah dipulihkan oleh Lord Curzon pada awal abad ke-20 ini menghadapi polusi lalu lintas serta polusi industri.
Advertisement