Liputan6.com, Tokyo- Namanya Eriko Sekiguchi. Perempuan 36 tahun itu adalah lulusan universitas. Ia juga seorang karyawan yang bergaji lumayan. Namun, acara ngumpul bersama teman, kencan, atau berlibur tak ada dalam agendanya. Bukan tak mampu, tapi tak ada waktu.
Dan dia tak sendirian. Kerja keras secara berlebihan (workaholic) adalah kebiasaan yang mendarah daging di negerinya: Jepang.
Dalam sehari, waktu kerja Sekiguchi di sebuah perusahaan dagang bisa mencapai 14 jam -- termasuk rapat pagi, dan 'settai' atau kegiatan membangun hubungan dengan klien. Dari 20 hari hak cutinya tahun lalu, ia hanya memakai 8 di antaranya -- termasuk 6 hari untuk beristirahat di tempat tidur karena sakit.
"Tak ada yang menggunakan cutinya secara penuh," kata dia, seperti dikutip dari News.com.au, Selasa (10/2/2015).
Pemerintah Jepang ingin mengubah hal itu.
UU baru akan dibahas dalam sesi parlemen yang dimulai pada 26 Januari 2015. Tujuannya, memastikan pekerja mendapatkan istirahat yang mereka butuhkan. Dan, akan menjadi tanggung jawab perusahaan untuk memastikan para pegawai mereka ambil cuti.
Jepang telah mempelajari aturan tersebut selama bertahun-tahun. Ada banyak dorongan untuk mengubah budaya kerja terlalu keras itu sejak 2012.
Ternyata, ada risiko besar yang disebabkan workaholic: dalam bidang kesehatan, sosial, juga produktivitas.
Masalahnya, sejumlah pekerja merasa tak enak hati atau takut dibenci rekan kerjanya jika mengambil cuti. Di Negeri Sakura, pegawai yang menggunakan semua hak cutinya akan dianggap 'manja'.
Ongkos sosialnya pun terlampau tinggi. Di usianya, Sekiguchi diam-diam khawatir, ia tak akan sempat menikah atau bahkan untuk menemukan kekasih -- kecuali jika hubungan itu terjalin dengan rekan kerja.
Kadang-kadang, perempuan berambut sebahu itu berharap perusahaannya tutup sehingga para pekerja bisa libur tanpa harus ragu.
Gaya hidup workaholic dan keengganan pasangan membesarkan anak menjadi faktor di balik penurunan tajam angka kelahiran di negara dengan perekonomian ketiga terbesar dunia itu.
Baca Juga
Demografi Jepang berbentuk piramida terbalik -- lebih banyak usia lanjut sementara angka kelahiran minim.
Advertisement
Dan di Jepang, bekerja terlalu keras bisa menyebabkan kematian. Dalam arti sebenarnya. Saking umumnya, tragedi tersebut diwakili dengan satu istilah: 'karoshi'.
Pemerintah memperkirakan ada 200 kematian karoshi tiap tahunnya, akibat serangan jantung dan pendarahan otak setelah bekerja berjam-jam lamanya.
Itu belum termasuk depresi bahkan bunuh diri yang disebabkan tekanan pekerjaan. Kasus semacam itu tak masuk hitungan karoshi.
Sekitar 22 persen pekerja di Jepang bekerja lebih dari 49 jam per minggu. Presentasi di Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman lebih kecil yakni 11 persen. Sementara Korea Selatan lebih gila lagi, ada 35 persen pegawai yang harus bekerja selama itu!
Hanya setengah hak cuti yang diambil pegawai di Jepang, rata-rata 9 hari dalam setahun.
Kalaupun mengambil hak cuti, biasanya karena sakit. Memang, ada UU yang menjamin dua per tiga upah mereka tetap dibayar jika pekerja menderita sakit parah dan tak masuk kerja karenanya. Namun tidak untuk sakit ringan.
"Itu berarti pegawai menyisakan 2-3 hari cuti kalau-kalau mereka menderita flu atau sakit ringan lainnya," demikian kata Yuu Wakebe, pejabat Kementerian Kesehatan dan Tenaga Kerja. Dengan cara itu, mereka 'bisa sakit' tanpa harus potong gaji.
Meski Jepang terkenal dengan etos kerja yang keras, ternyata waktu kerja mereka tak sebanding dengan kinerja dan produktivitas.
Ada banyak hal yang tak efisien, juga budaya yang birokratis di tempat kerja. Para pegawai tak jarang hanya duduk-duduk di kantor, tak mengerjakan hal penting, atas nama semangat kerja tim.
Para ahli berpendapat UU baru adalah solusi. Namun, penyebab dilema itu terlanjur mengakar. Sudah jadi kultur.
Mengatur waktu istirahat akan lebih mudah untuk diterapkan jika ekonomi membaik di bawah kebijakan anti-deflasi Perdana Menteri Shinzo Abe yang melemahkan yen.
Masalah kecanduan kerja menjadi masalah yang intens selama dua dekade terakhir stagnasi ekonomi di Jepang. Penggunaan tenaga kerja murah menjadi praktik umum agar bisa terus bertahan dalam ekonomi yang global yang kian kompetitif. Sementara, loyalitas terhadap perusahaan di kalangan pegawai di Jepang terlanjut membudaya. Orang sulit beralih ke perusahaan lain meski diiming-imingi gaji lebih tinggi.
Abe, yang dikenal bukan orang yang kerap berlibur lama, menekankan pentingnya perubahan. Ada yang keliru soal etos kerja orang Jepang. Yakni, "Budaya salah yang menekankan pada waktu kerja yang lama." Bukan produktivitas dan kualitas. (Ein/Riz)