Liputan6.com, Jakarta - Perang Korea 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai seperti semestinya.
Secara teknis, Korea Selatan dan Utara masih berperang. Meski demikian, impian reunifikasi atau persatuan kembali belum juga pupus. Seperti yang pernah terpampang pada pembukaan Olimpiade tahun 2000 di Sydney, Australia.
Kala itu, dua Korea tampil bersama saat parade kontingen. Membawa bendera baru yang menggambarkan Semenanjung Korea. Masyarakat dunia bertepuk tangan meriah menyambut kerukunan itu, sementara, warga Korsel dan Korut menyaksikan momentum itu dengan mengharu biru. Sayang, belakangan, kemesraan seperti itu justru jarang terlihat.
Pertanyaannya, masih bisakah dua Korea bersatu? Apa dasarnya? Menanggapi pertanyaan ini, Duta Besar Korsel untuk Indonesia Choi Tai-young angkat bicara.
"Kami, Korea Selatan dan Korea Utara adalah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa," kata Choi di pusat kebudayaan Amerika Serikat @America di Pacific Place Jakarta, Rabu (25/2/2015).
"Itu lah kenapa kami harus reunifikasi dengan Korut," tambah dia.
Choi pun mengatakan, Korsel akan berusaha keras mewujudkan reunifikasi dengan Korut. Tidak hanya persatuan, Negeri Ginseng juga akan mencoba memperbaiki indikasi pelanggaran HAM yang terjadi di Korut sebisa mungkin.
"Kami akan berusaha mencapai reunifikasi dan kami akan mencoba memperbaiki (masalah HAM Korut) ini," tegasnya.
Meski demikian, diakui Choi, perundingan reunifikasi tidak lah mudah. Apa lagi, Korut selalu mengambil langkah yang tidak tepat sehingga perundingan tersebut tak menghasilkan hasil memuaskan.
"Tapi sayangnya kami selalu mendapat tanggapan yang tidak positif dari Korut. Terkadang mereka mengatakan iya untuk berunding dan tapi saat perundingan dimulai mereka memberikan prakondisi," kata dia.
"Prakondisi itu tidak baik, jadi dapat kami katakan sekarang tidak ada progres yang signifikan tapi pintu kami selalu terbuka," pungkasnya. (Ein)