Liputan6.com, London - Lembaga pegiat hak asasi manusia Amnesty International mengatakan Indonesia seharusnya memilah permohonan grasi terpidana mati berdasarkan kasus per kasus. Pihak Amnesty juga menyinggung mengenai kondisi kesehatan mental salah seorang terpidana mati.
"Eksekusi ini harus segera dihentikan. Salah satu terpidana mati pria telah didiagnosa dengan paranoid schizophrenia, meski hukum internasional tidak bisa lebih jelas lagi menyatakan larangan untuk menghukum mati mereka yang menderita gangguan kejiwaan," kata Direktur Riset Amnesty Internasional di Asia Tenggara, Rupert Abbott seperti dikutip dari BBC, Kamis (5/3/2015).
"Kegagalan Indonesia untuk mempertimbangkan permohonan grasi atas dasar kasus per kasus untuk mereka yang dihukum mati karena kejahatan narkoba, bertentangan dengan Konstitusi Indonesia dan hukum internasional sekaligus memunculkan pertanyaan serius tentang peraturan hukum di Indonesia," tambah Rupert.
"Kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengubah kebijakannya sebelum catatan HAM awalnya lebih tercemar lagi," lanjut Amnesty.
Pihak Amnesty mengatakan eksekusi juga akan mengurangi kredibilitas Indonesia untuk berbicara tentang HAM di level regional dan global, termasuk menyelamatkan nyawa warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di negara lain.
Terpidana yang disebut mengalami masalah kejiwaan adalah Rodrigo Gularte. Seorang kerabat Rodrigo, Angelita, dalam wawancara dengan BBC mengatakan bahwa Rodrigo tidak menyadari apa yang terjadi.
"Kalau saya datang untuk menjenguknya, ia akan bercerita, ngobrol seperti tidak terjadi apa-apa. Ia tidak menyadari apa yang terjadi dan apa nasib yang akan menimpanya," kata Angelita.
Rodrigo ditangkap, bersama pria Brasil lainnya, lantaran membawa 6 kg kokain ke Indonesia pada 2004 silam. Dia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Sementara 2 rekannya dipulangkan ke Brasil.
Baca Juga
Menurut sang sepupu, Rodrigo kerap bertingkah aneh, termasuk bicara sendiri seolah berbicara dengan hantu. Pria berusia 42 tahun itu mengidap skizofrenia, gangguan jiwa yang membaut pengidap mengalami halusinasi dan tidak bisa berpikir sesuai realitas.
Sebelumnya, protes terhadap eksekusi mati juga sempat dilontarkan dari Tanah Air. Salah satunya adalah Setara Institute.
"Secara normatif memang eksekusi mati masih diadopsi di Indonesia dan pada era Presiden Jokowi ini kali kedua Jokowi mengambil langkah hukuman mati. Kami Setara Institute menolak keras hukuman mati ini," Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu 4 Maret.
Ia menjelaskan, ada beberapa hal alasan mengapa hukuman mati musti dihapuskan. Selain karena mencederai nilai-nilai kemanusiaan, eksekusi mati merupakan pencederaan konstitusi karena melanggar HAM serta Pasal 281 (1) dan pasal 28A UUD 1945. (Tnt/Yus)
Advertisement