Sukses

Anti-Demokrasi di Malaysia Dianggap Mengancam Demokrasi Indonesia

Aktivis meminta Pemerintah Indonesia untuk mendesak negara-negara yang belum demokratis agar menjadi demokratis.

Liputan6.com, Jakarta - Koordinator Change.org Usman Hamid menilai anti-demokrasi yang disebut terjadi dengan Malaysia belakangan ini bisa juga mengancam dan terjadi di Indonesia. Hal itu ia katakan dalam pertemuan antara LSM masyarakat sipil dengan anggota parlemen Malaysia dari partai oposisi, Partai Keadilan Rakyat (PKR), yakni Nurul Izzah dan Tian Chua.

"Berkaitan dengan Izzah itu momen yang sangat berharga untuk Indonesia. Ancaman kebebasan Malaysia juga mengancam kebebasan di Indonesia," kata Usman di Kantor Kontras, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/4/2015).

Selain Tian Chua dan Nurul Izzah yang merupakan putri sulung pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, hadir juga putri ke-5 Anwar, yakni Nurul Iman. Mereka datang berkunjung meminta dukungan masyarakat Indonesia terkait dengan kebijakan Pemerintah Malaysia yang dianggap otoriter, dalam hal ini mengenai penerapan pasal penghasutan atau sedition act 1948. Apalagi, dengan pasal itu, Anwar 2 bulan lalu dipenjara karena dianggap terbukti bersalah oleh pengadilan melakukan sodomi.

"Tadi pagi kami diskusi menggalang solidaritas berbagai warga di dunia untuk memperjuangkan keluarga Anwar. Kami mulai suatu petisi online, www.change.org/bebaskanmereka atau /supportnurulizzah. Sudah didraft dengan tim, sehingga walaupun mereka sudah kembali ke Malaysia, siapapun dapat mendukung pembebasan anggota dewan," kata mantan Koordinator Kontras setelah era Munir Sayid Thalib ini.

Usman menambahkan, pihaknya meminta Pemerintah Indonesia untuk mendesak negara-negara yang belum demokratis agar menjadi demokratis. Dalam hal ini Malaysia.

"Kebebasan bukan semata-mata kebeasan isu di Malaysia, tetapi universal. Kesejahteraan tidak diukur dari pendapatan, tetapi kebebasan. Saya menyerukan rakyat dan Pemerintah Indonesia, inilah saatnya untuk menunjukka ada solidaritas untuk mendesak negara yang belum demokratis,l ucap Usman.

Pemimpin oposisi Malaysia yang juga mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim kembali berhadapan dengan hukum pada 10 Februari 2015 lalu. Dia dieksekusi otoritas keamanan Malaysia untuk menjalani hukuman penjara karena dianggap terbukti oleh pengadilan melakukan sodomi pada 2008 silam. Anwar divonis hukuman penjara 5 tahun.

Selang sekitar sebulan kemudian, putri Anwar, Nurul Izzah (34) juga ditangkap dan ditahan usai memberi pernyataan bersifat kritik di hadapan parlemen terkait hukuman penjara yang dijatuhkan kepada ayahnya tersebut. Anggota Parlemen dari Partai Keadilan Rakyat (PKR) itu dianggap melanggar pasal penghasutan/akta hasutan/sedition act 1948.

Polisi Diraja Malaysia menyatakan Nurul Izzah ditahan karena pernyataannya yang dianggap menghina Pemerintah. Di depan parlemen Nurul mengatakan orang-orang yang berada di dalam sistem peradilan Malaysia telah menjual jiwa mereka kepada setan.

Setelah ditahan selama 1 malam, Wakil Ketua PKR itu akhirnya dibebaskan dengan uang jaminan pada 17 Maret 2015. Namun penahanan Nurul Izzah itu sempat memicu pernyataan prihatin dari sejumlah pihak. Termasuk dari Kementerian Luar Negeri AS.

Sudah berpuluh tahun lamanya Pemerintah Malaysia menerapkan sedition act 1948. Undang-undang anti-penghasutan itu diterapkan bagi mereka yang dinilai memberi kritikan terhadap Pemerintah Malaysia. Peraturan itu dianggap oleh sejumlah kalangan, baik di Malaysia sendiri maupun oleh pihak internasional, sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi, hukum, dan independensi sistem hukum Malaysia.

Undang-Undang Anti-Penghasutan yang merupakan peninggalan Inggris, dianggap telah mengkriminalkan sebuah pernyataan dari individu atau kelompok dengan tendensi menghasut yang tak didefinisikan dengan jelas. Sejumlah kalangan menyebut Pemerintah Malaysia menggunakan Undang-Undang itu untuk membungkam kelompok yang dianggap berseberangan. (Riz)