Liputan6.com, Washington DC - Istilah 'Perang Dingin' saat ini biasanya digunakan untuk menggambarkan hubungan yang sedang tak baik antara satu pihak dengan pihak lain. Dalam kurun waktu itu, kedua belah pihak tak saling menyapa atau saling diam.
Tapi sesungguhnya istilah 'Perang Dingin' ini berasal dari konflik antara Amerika Serikat dan Rusia pada era Perang Dunia II. 16 April 1947 atau tepat 68 tahun lalu, seorang penasihat presiden di Negeri Paman Sam mencetuskan istilah 'Perang Dingin' untuk menggambarkan situasi dua negara adidaya itu yang bersengketa, tapi tidak secara langsung.
Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Bernard Baruch, penasihat presiden sekaligus pebisnis terkemuka di AS. Dinamakan 'Perang Dingin' karena kedua belah pihak tidak pernah terlibat dalam aksi militer secara langsung, namun masing-masing pihak memiliki senjata nuklir yang dapat menyebabkan kehancuran besar.
Advertisement
"Jangan sampai kita tertipu. Kita saat ini tengah 'Perang Dingin'. Musuh kita bisa saja tiba-tiba muncul di mana pun, di luar negeri dan di rumah," ujar Baruch, seperti dimuat Liputan6.com dari Politico.com, Kamis (16/4/2015).
"Ingat baik-baik. Jika negara kita rusuh, itu merupakan awal kemenangan mereka," imbuh pria yang menjadi penasihat presiden dari zaman Presiden Woodrow Wilson hingga Presiden Harry S. Truman.
Beberapa lama kemudian, rekan Baruck dan sejumlah wartawan di AS menggunakan istilah 'Perang Dingin' di koran. Termasuk di kolom harian New York Herald Tribune. Term ini pun meluas dan digunakan ke seluruh penjuru dunia. Artinya pun juga meluas. Tak hanya ditujukan untuk AS dan Rusia, tapi kini juga biasa dipakai untuk hubungan cinta.
Perang Dingin mengakibatkan ketegangan tinggi yang pada akhirnya memicu konflik militer regional seperti Blokade Berlin (1948–1949), Perang Korea (1950–1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin 1961, Krisis Rudal Kuba (1962), Perang Vietnam (1959–1975), Perang Yom Kippur (1973), Perang Afganistan (1979–1989), dan penembakan Korean Air Penerbangan 007 oleh Soviet (1983).
Alih-alih terlibat dalam konflik secara langsung, kedua belah pihak berkompetisi melalui koalisi militer, penyebaran ideologi dan pengaruh, memberikan bantuan kepada negara klien, spionase, kampanye propaganda secara besar-besaran, perlombaan nuklir, menarik negara-negara netral, bersaing di ajang olahraga internasional, dan kompetisi teknologi seperti Perlombaan Angkasa. (Riz)