Liputan6.com, Boston - Bom yang meledak di tengah ajang Boston Marathon pada 15 April 2013 menjadi trauma hebat bagi pasangan Bill dan Denise Richard.
Mereka kehilangan putra kesayangan, Martin Richard. Bocah yang kala itu berusia 8 tahun tersebut, kebetulan berdiri di garis finis menonton perlombaan Boston Marathon, saat dua bom sekonyong-konyong meledak tanpa peringatan. Ia menjadi satu dari setidaknya 3 korban tewas dalam insiden itu.
Panci presto yang diisi paku dan gotri meledak sesaat setelah Martin kecil dan keluarganya kembali ke tempat duduk, balik dari membeli es krim.
Sang Ibu, Denise sempat kritis. Ia mengalami luka parah dan harus menjalani operasi otak. Sementara adik perempuannya, Jane, yang baru berusia 6 tahun kehilangan satu kakinya.
Namun, Bill dan Denise Richard meminta pelaku, Dzhokhar Tsarnaev tidak dihukum mati.
"Jika dilakukan, niscaya itu akan memperpanjang kenangan buruk tentang hari paling menyakitkan dalam hidup kami," kata mereka dalam artikel yang dimuat di halaman depan Boston Globe, seperti dikutip dari News.com.au, Sabtu (18/4/2015).
Mereka justru berpendapat, akan lebih baik jika Tsarnaev tak lagi jadi sorotan media, menghilang selamanya dari pandangan publik. "Saat itulah kami bisa bangkit." Melanjutkan hidup dengan wajar.
Dengan emosional, pasangan tersebut mengisahkan masa 2 tahun paling berat dalam hidup mereka. "Keluarga kami berduka. Kami harus memakamkan putra kami yang masih kecil, menderita rasa sakit akibat cedera, dan menjalani sejumlah operasi -- itu yang terjadi saat kami berusaha bangkit. Sejak saat itu, hidup kami tak pernah sama dengan sebelumnya."
Meski mendukung upaya Departemen Kehakiman AS yang memperkarakan Tsarnaev, mereka minta agar hukuman mati tidak dipertimbangkan dalam tuntutan.
"Kami berpendapat akan lebih baik jika pelaku seumur hidup dipenjara, tanpa peluang untuk bebas dan mengajukan banding."
Bagi pasangan Richard, insiden bom dalam Boston Marathon 2013, sebaiknya bukan didedikasikan untuk mengingat tindakan kejam atau motivasi para pelaku. "Melainkan tentang daya tahan, semangat kemanusiaan di sebuah kota yang luar biasa (Boston)."
Sebelumnya, pelaku bom Boston, Dzokhar Tsarnaev dijatuhi vonis bersalah atas 30 tuntutan.
Para juri di Pengadilan Federal Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, Rabu 8 April 2015 waktu setempat, mempertimbangkan vonis ini selama 11 jam dalam dua hari pertemuan. Setelah mendengarkan berbagai kesaksian selama 16 hari, untuk kasus pemboman Maraton Boston yang menewaskan tiga orang dan mencederai 264 orang
Kini, juri harus memutuskan apakah pria 21 tahun itu akan dijatuhi hukuman mati. Sebaliknya, pengacara terdakwa sedang mempersiapkan materi pembelaan.
Sejak tahun 1947, negara bagian Massachusetts belum pernah mengeksekusi mati siapapun.
Tak hanya keluarga korban bom Boston, uskup-uskup Katolik di negara bagian itu menegaskan menentang penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku. (Ein)