Liputan6.com, Jakarta Dini hari yang dingin, 26 April 1986, penduduk Pripyat, Ukraina sedang tidur lelap. Tak ada yang menyangka, malapetaka sedang mengintai. Dari 'kota kembarnya' Chernobyl.
Malam sebelumnya, sekelompok teknisi sedang menjalankan eksperimen di Reaktor No.4 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl yang berada di dekat Pripyat -- yang menjadi pemukiman para pekerja PLTN. Uji coba yang dipersiapkan dengan minim, dengan mengabaikan prosedur keamanan yang layak, berakibat fatal. Â
Reaktor seberat 2.000 ton itu menjadi tak stabil. Para teknisi tak mampu mengendalikan kebocoran radiasi. Kebakaran, lalu ledakan tak terelak.
Insiden berujung maut, 2 pekerja tewas seketika. Jumlahnya kemudian bertambah jadi 32 orang di awal krisis. Namun, malapetaka sesungguhnya justru terjadi setelah itu.
Evakuasi yang awalnya dilakukan di Chernobyl, diperluas. Sekitar 40 jam setelah kejadian, penduduk Pripyat diperintahkan untuk mengungsi. Saat itu, ada sekitar 50 ribu orang yang tinggal di sana.
Karena mengira akan segera kembali, warga hanya membawa barang seadanya. Orang-orang salah kira, mereka justru tak akan pernah kembali. Area itu dikosongkan, lalu menjadi 'kota hantu' yang seakan membeku oleh waktu.
Awalnya, hiruk pikuk di sekitar Chernobyl tak diketahui dunia luar. Butuh waktu berhari-hari bagi Pemerintah Uni Soviet -- yang kala itu menguasai Ukraina --Â untuk mengakui kecelakaan itu. Mereka awalnya sengaja menutupi.
Namun, tak ada gunanya. Lebih dari 50 ton materi radioaktif lepas tak terkendali ke lapisan atmosfer di atas Chernobyl -- 400 kali lebih banyak dari pada bom Hiroshima. Angin menyebarkannya ke seluruh kawasan Uni Soviet bagian barat, juga Eropa.
Efek radiasi terlanjur menyebar. Ribuan orang tewas secara bertahap. Di Uni Soviet saja, 5.000 orang meninggal dunia akibat kanker dan penyakit lain.
Ini salah satunya: Bahkan sebelum lahir ke dunia, Tatsiana Khvitsko telah menjadi korban.
Empat tahun setelah Bencana Chernobyl, Khvitsko lahir di Belarus, negara di utara titik kejadian -- yang menerima 70 persen dari radiasi yang dilepaskan oleh ledakan reaktor.
Akibatnya, Khvitsko lahir dengan kaki yang tak sempurna. Ia kehilangan hampir semua jari-jarinya.Â
Advertisement
"Aku tak punya masa kecil yang indah," kata dia. Ingatan perempuan itu melayang pada kaki protestiknya yang terlihat 'aneh' dan dibuat dari kayu.
Kini, wanita tegar berusia 24 tahun itu adalah seorang pelari, yang pada 2015 ini mencapai garis finis ajang Rock the Parkway Half Marathon di Kansas. Dengan kaki protestiknya yang baru, yang memungkinkannya bergerak lebih bebas.
"Karena saya tak memiliki kaki, rasanya seperti sedang terbang," kata Khvitsko seperti dikutip dari situs runnersworld.com. "Sensasi sedang terbang itulah yang membuat saya terus berlari. Saya ingin terus merasakannya."
Area di sekitar Chernobyl kini sudah bisa dikunjungi, meski terbatas. Namun, apa yang pernah terjadi 29 tahun lalu seharusnya jadi pengingat: agar kita tak main-main dengan nuklir.
Pesan dari tragedi Chernobyl makin kuat kala kejadian serupa terjadi pada 2011 lalu -- yang menimpa reaktor nuklir Fukushima Dai-ichi yang luruh akibat gempa dan tsunami yang menimpa Jepang.
Selain menjadi momentum salah satu bencana nuklir terparah dalam sejarah manusia, tanggal 26 April juga diwarnai sejumlah kejadian penting.
Pada 1803, ribuan fragmen meteorit jatuh dari langit L'Aigle, Prancis. Menjadi bukti nyata bagi kalangan ilmuwan bahwa eksistensi meteorit benar adanya.
Sementara pada 1989, tornado paling mematikan dalam sejarah manusia terjadi di Bangladesh. Menewaskan 1.300 orang, melukai 12.000 lainnya. Bencana alam juga menyebabkan 80.000 warga menjadi tunawisma. (Ein)