Liputan6.com, Jakarta - Hidup Andrew Chan dan Myuran Sukumaran berakhir di depan regu tembak, Rabu 29 April 2015 dini hari. Nusakambangan, pulau kecil di selatan Pulau Jawa, menjadi tempat penghabisan napas mereka.
Kisah tragis duo sindikat pengedar narkoba 'Bali Nine' itu berawal dari 13 tahun lalu. Keduanya adalah pria muda, dari keluarga yang stabil pendapatannya, namun tak berlebih.
Kala itu mereka yakin, hidup mereka hanya akan biasa-biasa saja, terjebak pada pekerjaan, sembari menatap iri pada orang-orang kaya bergaya hidup mewah: menggandeng gadis-gadis cantik, punya banyak uang, dan menyetir mobil mahal berharga selangit.
Andrew Chan yang kala itu berusia 21 tahun dan Myuran Sukumaran mengira, menyelundupkan narkoba akan menjadi jalan pintas untuk hidup enak dan glamor. Siapa sangka, itu justru akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidup mereka. Yang bakal disesali hingga akhir hayat.
Keduanya tertangkap di Bali, saat berusaha menyelundupkan lebih dari 8 kilogram heroin keluar Indonesia, menuju Australia pada tahun 2005 lalu.
Aparat Indonesia membekuk mereka berdasarkan informasi dari kepolisian federal Australia.
Segala upaya hukum yang mereka ajukan, ditepis, termasuk permohonan grasi dari presiden. Tak ada jalan keluar. Dari semua sindikat Bali Nine, hanya Chan dan Sukumaran yang harus menghadapi regu tembak, dengan 12 popor senapan mengarah pada mereka.
Baca Juga
Selanjutnya: 'Silau pada Harta'...
Advertisement
'Silau pada Harta'
'Silau pada Harta'
Keduanya dianggap otak di balik penyelundupan narkoba senilai US$ 4 juta.
Andrew Chan adalah anak bungsu dari 4 bersaudara. Ia putra dari seorang imigran asal China. Suatu ketika, ia mengaku sebagai biang onar dalam keluarganya,
Chan pernah bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan katering, Eurest, di mana ia kali pertama bertemu Renae Lawrence, Martin Stephens, dan Matthew Norman --Â dan kemudian merekrut mereka ke jaringan narkoba.
Sementara, Sukumaran adalah mahasiswa drop-out dari sebuah universitas. Ia yang adalah anak sulung dari 3 bersaudara, masih tinggal bersama orangtua saat bekerja sebagai pengelola surat-surat di mail room.
Chan dan Sukumaran kali pertama bertemu di sebuah pesta pada tahun 2002, meski mereka ternyata bersekolah di SMA yang sama di Sydney. Keduanya merasa tak puas dengan hidup mereka.
"Aku tak mensyukuri hidupku meski aku punya pekerjaan yang stabil...Dan aku adalah seorang pengguna narkoba," kata Chan kepada Dateline pada 2010, seperti dikutip Daily Mail pada Rabu (29/4/2015).
"Aku tak bisa membayangkan diriku bekerja di ruang surat selama 50 tahun ke depan," itu yang diucapkan Myuran Sukumaran.
"Aku pikir, 'Tidak, aku tak bisa melakukannya'. Lalu aku melihat orang-orang itu di kelab malam, punya BMW bagus atau Mercedes mewah. Selalu ada gadis-gadis di sekitar mereka, lalu orang-orang itu mentraktir minum semua orang...," tambah Sukumaran. "Orang yang bekerja di ruang surat tak bakal bisa melakukannya."
Selanjutnya: Heroin yang Terikat di Perut Bali Nine...
Advertisement
Heroin yang Terikat di Perut Bali Nine
Heroin yang Terikat di Perut Bali Nine
Chan dan Sukumaran ditahan pada 17 April 2005. Chan ditangkap di Bandara Denpasar bersama Scott Rush, Michael Czugaj, Lawrence, dan Stephens. Bungkusan heroin terikat di perut dan kaki. Sementara, Sukumaran ditangkap di hotel Melasti Beach Bungalows di Pantai Kuta, bersama an Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, dan Norman.
Bukti lain kemudian ditemukan, berupa 334 heroin dan material untuk menyelundupkan barang haram itu, termasuk Elastoplast, timbangan, dan bungkus plastik.
Sulit untuk membayangkan bahwa 2 pria tersebut, yang kini berusia 30-an tahun, sebagai pimpinan geng narkoba -- yang mengancam nyawa orang lain dengan obat-obatan terlarang yang mereka selundupkan.
Meski hakim di pengadilan Indonesia menyatakannya tak terbukti, baik Rush dan Lawrence mengaku bahwa Chan mengancam keluarga mereka, jika keduanya tak mau mengikuti perintahnya.
Sementara, jaksa menuding Sukumuran tak kooperatif dan tak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya -- dua alasan itulah yang membuatnya dijatuhi vonis mati.
Bali Nine lantas disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar. Pada 14 Februari 2006, Chan dan Sukumaran dijatuhi vonis mati. Sementara, Stephens, Czugaj, Lawrence, Nguyen, Chen, Norman, dan Rush dijatuhi hukuman seumur hidup. Hanya Renae Lawrence yang hukumannya dikurangi jadi 20 tahun bui.
Upaya banding pertama Chan dan Sukumaran ditolak Pengadilan Tinggi Bali pada April 2006 -- kala itu PM Australia John Howard menolak melakukan intervensi.
Upaya kedua diajukan pada Agustus 2010 -- yang didukung petugas lapas yang bersaksi bahwa mereka telah direhabilitasi.
Selanjutnya: Tak Ada Ampun...
Tak Ada Ampun
Tak Ada Ampun
Dan waktu mengubah Chan dan Sukumaran. Chan yang saat ditangkap penuh tato di badannya, juga mengenakan perhiasan emas, bertransformasi menjadi pendeta yang ditasbihkan Gereja Bayside di Melbourne.
Sementara, Sukumaran mengembangkan bakat seninya. Ia mendapat gelar Associate Degree dari Curtin University, Perth.
Pria berkepala pelontos itu terkenal dengan lukisan-lukisannya yang muram.
Selama di tahanan, mereka memberikan banyak kursus, dari Bahasa Inggris sampai seni untuk sesama narapidana. Kepada media, mereka mengaku menyesali masa lalu mereka.
Upaya hukum terakhir mereka di Mahkamah Agung ditolak pada Juli 2011, lalu Chan dan Sukumaran mengajukan grasi pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dua tahun tak mendapat jawaban, pemerintahan pun berganti. Permohonan pengampunan mereka ditolak oleh Presiden Joko Widodo -- Jokowi yang terpilih pada Juli 2014 mengumumkan penolakan itu pada Desember tahun yang sama. Menegaskan perlawanannya terhadap narkoba.
Empat bulan pertama tahun 2015 menjadi 'mimpi buruk' bagi Chan, Sukumaran, juga seluruh keluarganya.
Kekhawatiran terbesar mereka menjelma, saat nama 2 pria asal Negeri Kanguru ada dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi.
Segala upaya yang mungkin dilakukan, tak ada yang berhasil. Permohonan pengampunan dari Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Menlu Julie Bishop, dan ulama Dr Ibrahim Abu Mohamed, tak menggoyahkan sikap Presiden Jokowi: tak ada ampun bagi para pengedar narkoba. (Ein/Ans)
Advertisement