Sukses

Terkuak, Nenek Moyang Ular Punya Kaki dan Jari

Panjang, licin, dan tak berkaki, itulah gambaran ular saat ini. Namun, penampakan hewan itu mungkin tak seperti itu jutaan tahun lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Panjang, licin, dan tak berkaki, itulah gambaran ular saat ini. Namun, penampakan hewan Serpentes itu mungkin tak seperti itu jutaan tahun lalu.

Ilmuwan mengungkap bahwa nenek moyang semua ular teryata memiliki kaki belakang -- meski kecil, juga pergelangan dan jari kaki. Kala itu mereka bisa dijumpai sedang merayap di atas tanah basah di dalam hutan, mencari mangsa bertubuh lunak.

Dalam rekonstruksi komprehensif pertama leluhur ular, para peneliti menganalisa fosil, DNA, dan anatomi 73 spesies ular dan kadal.

Temuan para ilmuwan menunjukkan bahwa nenek moyang ular masa kini awalnya cenderung nokturnal, berkembang di daratan, serta tinggal dalam lingkungan yang hangat, lembab di dalam hutan di Belahan Bumi Selatan (Southern Hemisphere) sekitar 128 juta tahun lalu.

Penemuan tersebut memberi petunjuk penting untuk menguak misteri sejarah evolusi ular. Meski ada sekitar 3.400 spesies ular hidup di Bumi saat ini di segala macam habitat, hanya sedikit yang diketahui tentang di mana dan kapan mereka berkembang. Juga bagaimana penampakan dan perilaku nenek moyang mereka.

Selain menggunakan data genetika dan anatomi, "Para ilmuwan, dengan menggunakan data yang ada, bisa melintasi waktu untuk merekonstruksi potensi perilaku fosil ular," kata Allison Hsiang, pemimpin studi sekaligus peneliti posdoktoral di bidang geologi dan geofisika di Yale University, seperti dikutip dari situs sains LiveScience, Kamis (21/5/2015).

Hsiang dan para koleganya menciptakan pohon keluarga ular dalam skala besar, dengan cara mengidentifikasi persamaan dan perbedaan masing-masing spesies. Temuan mereka fokus pada nenek moyang semua ular dan hewan mirip ular lainnya -- termasuk legenda 'kakek moyang' semua ular.

Kedua nenek moyang diduga berburu di malam hari dan memangsa 'hewan vertebrata dan invertebrata bertubuh lunak', yang ukurannya setara dengan kepala mereka.

Meski mangsa mereka yang makan lebih besar daripada yang dikonsumsi kadal saat itu, tak terdeteksi bahwa ular kuno bisa meremukkan atau memangsa yang lebih besar dari mereka -- seperti yang bisa dilakukan Ular Boa (Boa constrictor) saat ini.

Ular boa (Wikipedia)

Dan tak seperti keturunanya, nenek moyang ular cenderung menggunakan gigi mereka yang setajam jarum -- untuk mengoyak -- sebelum menelannya mangsanya utuh-utuh.

Ilmuwan juga menemukan, nenek moyang ular lebih suka tinggal di lingkungan hangat, lembab, dengan vegetasi atau tanaman yang berkembang baik.

Mirip Burung Hantu

Nenek moyang hewan mirip ular, termasuk kadal, diduga berkembang selama pertengahan Periode Kapur Awal (Early Cretaceous) sekitar 128,5 tahun lalu di Laurasia, benua kuno yang meliputi Amerika Utara, Eropa, dan Asia.

Kemudian, nenek moyang semua ular menyusul sekitar 20 juta tahun kemudian di benua super Gondwana -- yang kini meliputi Amerika Utara, Afrika, Antartika, dan Australia.

Faktanya, perkembangan ular bertepatan dengan Revolusi Kapur Terrestrial (Cretaceous Terrestrial Revolution) masa ketika terjadi diversifikasi hewan yang intensif -- termasuk serangga, reptil, dan mamalia.

Tim juga menemukan, di masa awal ular adalah hewan noktunal, mirip burung hantu. Meski nenek moyang reptil aktif di siang hari, leluhur ular aktif di malam hari sekitar 45 sampai 50 juta tahun lalu.

Perilaku noktunal tersebut diduga berhenti ketika Colubroidae, famili ular yang meliputi lebih dari 85 persen spesies ular hidup, berhenti keluar rumah kala gelap. Akibat suhu udara yang turun drastis.

Colubroidae kemudian beradaptasi dengan melakukan kegiatan di siang hari. Dan mereka berhasil melakukannya, bahkan hingga saat ini.

Tak hanya kemampuan adaptasi. Ular berhasil tinggal di segala habitat karena kemampuan mereka melakukan perjalanan jauh dan di tempat yang luas, antara 42.500 mil persegi (110.000 kilometer persegi) -- sekitar 4,5 kali lebih besar dari kisaran yang bisa ditempuh para kadal.

Ular juga bisa hidup di tanah dan air, mengatasi hambatan penyebaran hewan darat lainnya. Studi para peneliti tersebut dipublikasikan secara online pada 19 Mei di jurnal BMC Evolutionary Biology. (Ein/Tnt)

Baca juga: Misteri Ular Pemakan Manusia di Hutan Kalimantan