Liputan6.com, New Delhi - Thepa Kharia tewas ketika gelombang panas 'memanggang' India. Bukan sebagai korban, tapi tumbal.
Hari itu, 31 Mei 2015, orang-orang masuk dengan paksa ke gubuknya di sebuah desa kecil di Negara Bagian Jharkhand. Mereka curiga saat Kharia tak muncul di pasar minggu. Benar saja, saat pintu dibuka, pemandangan mengerikan terpampang.
Baca Juga
Ada kubangan darah dengan bau anyir, jasadnya yang tanpa kepala tergolek mengenaskan. Baru semalam nyawa pria 55 tahun itu dihela paksa dari raga dengan cara sadis.
Advertisement
Keluarga korban yakin, kelompok penganut ilmu hitam membunuhnya, memenggal kepalanya untuk ditanam di sawah, sebagai persembahan dalam ritual minta hujan.
“Keluarga mengatakan, penganut ilmu gaib membunuhnya untuk ritual. Kepalanya masih hilang,” kata Ajay Kumar Thakur, polisi yang menyelidiki kasus pembunuhan di Distrik Gumla, seperti dikutip dari Daily Mail.
Mereka yang percaya ilmu gaib dikenal sebagai kelompok Orkas atau Mudkatwa. Namun, siapa pastinya pembunuh Kharia belum teridentifikasi.
Jharkhand memang sedang dilanda gelombang panas mematikan. Suhu udara di sana mencapai 47 derajat Celcius. Hujan diharapkan mengguyur pada pekan kedua di Bulan Juni.
Sudah lama, kelompok penganut ilmu hitam menebar teror. "Tak ada yang berani mengajukan keluhan soal Orkas. Kebanyakan penduduk takut pada kelompok tersebut, yang bergentayangan mencari korban sebelum musim hujan," tambah Thakur.
Memenggal kepala manusia biasa dilakukan di sana. Namun, hanya sedikit yang bernyali lapor ke polisi. Pada 2005, seorang pria 70 tahun dipenjara karena melakukan 5 kali pemenggalan.
"Orkas bisa siapa saja, dari petani hingga tantrik, Mereka mengubur kepala di sawah, berharap pengorbanan itu menghasilkan panen yang baik. Tak ada siapapun yang berani melapor," kata adik Kharia, yang mengumpulkan keberanian demi rasa keadilan bagi sang kakak.
Beberapa hari sebelum kematian Kharia, seorang bocah menjadi korban ritual pengorbanan manusia. Jasad Sanatan Bag (5) ditemukan di sebuah kuil di Desa Rangapara, di negara bagian Assam.
Korban diduga dibunuh seorang penganut ilmu hitam, yang akhirnya tewas dihakimi oleh warga yang murka.
Sementara itu di Desa Denganmal, India Barat, kekeringan dan langkanya air ‘memaksa’ Sakharam Bhagat kawin lagi.
Begini kisahnya: di desanya hanya ada 2 sumur air minum. Untuk menuju ke sana, orang harus berjalan jauh di tengah terik matahari. Belum lagi antrean panjang untuk menanti giliran. Tanpa air, tak ada kehidupan.
Bhagat, yang bekerja sebagai buruh harian di sebuah peternakan harus memastikan air untuk minum dan memasak tersedia cukup di rumahnya. “Harus ada seseorang yang bertugas untuk membawakan kami air. Menikah lagi adalah satu-satunya pilihan,” kata dia kepada Reuters. Maka, ia mengambil seorang istri.
“Istri pertama saya sibuk dengan anak-anak. Ketika istri kedua saya jatuh sakit dan tidak mampu mengambil air, aku menikah untuk ketiga kalinya,” kata pria 66 tahun itu.
Bhagat tinggal serumah dengan 3 istri dan anak-anaknya. Masing-masing pasangannya memiliki kamar terpisah dan dapur. Dua istri bertugas mengambil air, 1 lainnya bertanggung jawab memasak di dapur.
Poligami adalah tindakan ilegal di India. Namun di desa itu, ‘water wives’ alias menambah istri demi air adalah hal lazim.
“Beberapa perempuan desa tak keberatan diperistri dengan tujuan itu, terutama mereka yang telah menjanda atau ditinggalkan suaminya,” kata Bhagat.
Musim panas kali ini sungguh berat dirasakan penduduk Hindustan. Siang panas bukan main, malam pun terasa gerah.
Di New Delhi, terik mentari bahkan sampai melelehkan aspal jalan. Membuat garis zebra cross alias tempat penyeberangan jadi tak karuan.
Di wilayah lain, suhu udara meningkat hampir 7 derajat di atas rata-rata. Bahkan di kota pegunungan Mussoorie, yang terletak 2.000 meter di atas permukaan laut, suhu udara mencapai 36 derajat Celsius.
Yang paling menyedihkan, 2.500 nyawa melayang -- korban terbesar ranking lima akibat gelombang panas di dunia sejak Abad ke-19.
Mayoritas korban adalah lansia, para pekerja konstruksi, dan mereka yang tidur beratap langit.
Para sopir taksi berhenti beroperasi sejak pukul 11.00 hingga 16.00 setelah 2 sejawatnya tewas akibat panas.
Selanjutnya: Panas Ekstrem Saat Ramadan?...
Panas Ekstrem Saat Ramadan?
Panas Ekstrem Saat Ramadan?
Hawa panas di India diamati dari luar Bumi oleh sensor Clouds and Earth’s Radiant Energy System (CERES) yang ada pada Satelit Terra milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Instrumen tersebut mengamati radiasi gelombang panjang yang keluar (outgoing longwave radiation) -- yang dipancarkan permukaan Bumi, laut, dan atmosfer. Makin terik suatu daerah, makin banyak energi panas yang dipancarkan.
Dalam peta, makin terang warna ungu, berarti udara di area tersebut makin gerah. Jika makin tua maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Seperti yang teramati CERES, pada 15-27 Mei panas ekstrem tak hanya melanda India. Pakistan, Iran selatan, Uni Emirat Arab, dan Oman juga disengat mentari.
Panas menjalar dari Delta Indus, Gwadar di Pakistan, hingga Laut Arab. Selama beberapa hari sejumlah wilayah di Pakistan bahkan lebih terik dari India. Dan, pada 3 Juni 2015, temperatur di Sweihan, sebuah kota di Uni Emirat Arab, mencapai 50,7 derajat pada siang bolong – yang tertinggi di dunia pada hari itu.
Lantas mengapa ribuan orang meninggal di India?
“Salah satu alasan mengapa korban jiwa tinggi di India karena kelembaban. Seperti yang terjadi di Andhra Pradesh dan Telangana, yang menghadapi kelembaban sangat tinggi dan suhu ekstrem," demikian kata NASA.
Kelembaban memainkan peran penting dalam kejadian gelombang panas yang mematikan. Sebab, tubuh mengandalkan keringat sebagai pendingin. Jika kelembaban terlalu tinggi, keringat tak bisa menguap secara efisien. Tubuh pun mulai panas.
Fakta lainnya, sebagian besar wilayah India juga masih terbelakang. Seperempat populasi India -- yang total berjumlah 1,25 miliar, mengalami kekurangan listrik dan tak punya akses air bersih.
Pemakaian AC makin marak di India, namun ironisnya, pendingin udara justru meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Menteri Sains India, Harsh Vardhan menuding perubahan iklim sebagai biang keladi. "Jangan menipu diri sendiri dengan mengatakan tak ada kaitan antara jumlah kematian tak biasa akibat gelombang panas yang sedang berlangsung dan musim hujan yang gagal datang tepat waktu," kata dia.
"Ini bukan hanya musim panas yang luar biasa menyengat, ini adalah perubahan iklim," kata dia seperti dikutip dari The Independent.
Sementara ini, para ilmuwan belum memastikan penyebab gelombang panas di India.
Namun, peringatan sejatinya telah disampaikan pada India tahun lalu. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC) mengingatkan, India -- penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi di dunia, setelah China dan Amerika Serikat -- berisiko lebih sering menghadapi pola cuaca aneh. "Yang bisa mengakibatkan korban jiwa dalam jumlah besar dan gagal panen."
Apalagi bukan kali pertamanya Negeri Gangga diterjang panas. Pada 1998, fenomena serupa menewaskan 2.541 orang -- atau keempat paling mematikan di dunia.
Dari Arab Saudi, kondisi di India menjadi dasar sebuah prediksi mengerikan. Pencetusnya adalah ahli klimatologi, Abdul Rahman Mohammed Al-Ghamdi
Ia mengatakan, suhu udara di negara kaya minyak itu selama Ramadan bisa mencapai 50 derajat Celsius di tempat teduh. Sementara, di titik yang terpapar langsung sinar matahari langsung, panasnya bisa mencapai 65 derajat Celsius.
“Musim panas akan memasuki Belahan Bumi Utara pada 21 Juni 2015, kala itu Matahari akan tegak lurus di atas gugusan bintang Cancer, dan akan meningkatkan panas di sejumlah area di Saudi,” kata dia seperti Liputan6.com kutip dari Al Arabiya.
Al-Ghamdi menambahkan, suhu udara diperparah oleh kondisi di India, yang saat ini masih dilanda gelombang panas.
Meski demikian, klaimnya dianggap melebih-lebihkan. Sebab, temperatur tertinggi yang resmi tercatat adalah 56,7 derajat Celsius di Death Valley, California, Amerika Serikat, pada 1913.
Advertisement
‘Kombinasi Maut’ Panas dan Vodka
‘Kombinasi Maut’ Panas dan Vodka
Gelombang panas tak sedramatis bencana lainnya seperti gempa, tsunami, tornado, atau banjir. Tidak ada kemunculan tiba-tiba yang memicu kepanikan yang bisa jadi inspirasi adegan film fiksi sains Hollywood. Namun, efeknya tak kalah mematikan.
Pada tahun 2003, suhu udara yang mencapai 40 derajat Celsius merenggut 71 ribu nyawa di Eropa. Kematian-demi kematian dilaporkan terjadi di Portugal, Belanda, Spanyol, Italia, Jerman, Swiss, Inggris, Irlandia, dan yang terparah di Prancis -- di mana lebih dari 14 ribu orang meninggal dunia, kebanyakan lansia yang hidup sendiri atau ditinggal liburan oleh keluarganya.
Menteri Kesehatan Prancis, Jean-Francois Mattei dihujat karena tidak segera kembali dari liburannya saat ancaman gelombang panas semakin serius. Pak Menkes pun ditendang dari kabinet tahun berikutnya.
Enam tahun kemudian, bencana serupa terjadi di Rusia. Sudah jadi pengetahuan umum, warga di negara pecahan Uni Soviet tersebut paling andal dan pengalaman menghadapi musim dingin, yang paling ekstrem sekalipun.
Namun, panas membuat mereka takluk.
Pada musim panas 2010, Rusia menghadapi gelombang panas ekstrem -- yang menyebabkan kekeringan dan memicu suhu paling panas dalam setidaknya 500 tahun di Rusia.
Suhu udara mencapai di atas 40 derajat Celsius. "Suhu sepanas itu tak pernah dialami di sana setidaknya sejak akhir Abad Pertengahan," demikian dikutip Liputan6.com dari buku 'The Worst World Disasters of All Time' karya Kevin Baker.
Temperatur tertinggi tercatat mencapai 44 derajat Celsius pada 11 Juli di Yashkul, Kalmykia -- yang tertinggi sepanjang sejarah Rusia.
Sementara, Oymyakon di Siberia Selatan dikenal sebagai salah satu tempat terdingin di muka Bumi. Pada musim dingin suhu udara di sana bisa mencapai minus 52 derajat Celsius. Memakamkan jasad pun dilakukan susah payah karena sulitnya membikin liang di tanah beku.
Namun, pada 28 Juli 2010, suhu udara di sana mencapai 34,6 derajat Celsius.
Kemarau parah juga memicu kebakaran hutan dan membuat jutaan hektare lahan gandum kering kerontang.
Dan, karena kondisi cuaca bertekanan tinggi, polusi tak mau pergi. Kota-kota diselimuti kabut asap mematikan. Level karbondioksida meningkat nyaris 5 kali lipat dari batas aman.
"Karena panas yang tak terkira, orang-orang terjun ke sungai, danau atau kanal. Mengakibatkan 1.200 kematian hanya di Bulan Juni. Gara-gara tenggelam," demikian ungkap buku tersebut.
Total ada 2.000 manusia karam selama musim panas itu -- dari total 56.000 korban jiwa akibat gelombang panas.
Mengapa banyak yang tenggelam?
Untuk mendinginkan tubuh, orang-orang merendam tubuhnya di sungai, waduk, kolam. Sampai situ, potensi bahaya masih kecil. Masalahnya, mereka melakukannya sambil menenggak vodka, minuman keras yang populer di sana. Sampai teler!
Panas dan vodka menjadi kombinasi maut. "Mayoritas mereka yang tenggelam dalam kondisi mabuk," kata pejabat Kementerian Penanganan Darurat, Vadim Seryogin seperti dikutip dari ABC News.
Sejumlah anak juga masuk dalam daftar korban jiwa. "Anal-anak meninggal dunia karena orang dewasa yang mabuk lalai mengawasi mereka," tambah dia.
Maut juga datang dengan cepat pada mereka yang memiliki masalah kesehatan seperti alergi atau asma. Pekatnya udara karena polusi mencekik jalan napas.
Mereka yang berpunya memilih lari dari Rusia. Di Bandara Moskow suatu ketika tercatat 100 ribu orang terbang ke luar negeri hanya dalam 1 hari.
Hingga saat ini para ilmuwan belum sepakat tentang penyebab gelombang panas. Sejumlah ilmuwan meyakini, ada peran perubahan iklim (climate change) -- yang menyebabkan cuaca semakin ekstrem seperti hujan lebat, gelombang panas, dan badai.
Benjamin Cook, ilmuwan riset di Goddard Institute for Space Studies NASA mengatakan, perubahan iklim mungkin jadi salah satu faktor.
Namun, kata dia, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa pasti perubahan iklim mempengaruhi kondisi di India.
Sementara, ahli meteorologi CNN, Monica Garrett mengatakan, India mengalami angin Loo, hembusan angin barat yang membawa panas dan kering dari Pakistan dan India barat laut ke Hindustan. Penderitaan India juga disebabkan faktor geografis. "Pegunungan tinggi (Himalaya) menghalangi udara dingin dari timur laut," tambah dia.
Penelitian yang dipublikasikan pada April 2015 di Nature Climate Change menyebut, tiga perempat periode panas yang tak menentu di darat dapat ditelusuri kembali ke aktivitas manusia.
"Setiap tingkat pemanasan yang memicu peristiwa langka dan paling ekstrem -- dan biasanya berdampak tinggi pada sosial dan ekonomi -- dikarenakan emisi gas rumah kaca yang disebabkan aktivitas manusia, kata peneliti Swiss, Erich Fischer dan Reto Knutti seperti dikutip dari situs Time.
Penelitian mereka mengkaji gelombang panas dan hujan lebat dari 25 model iklim selama periode 1901-2005 serta proyeksi untuk 2006-2100.
Sebaliknya, David Barriopedro dari Instituto Dom Luiz di University of Lisbon, Portugal tak sepakat jika perubahan iklim dituding jadi tersangka utama.
"Sangat sulit, jika tak bisa dikatakan masuk akal, untuk mencirikan peristiwa ekstrem, seperti gelombang panas 2003 ke perubahan iklim," kata dia seperti dimuat situs sains, LiveScience. (Ein/Ans)