Liputan6.com, Bangkok - Koi plaa adalah makanan khas Thailand yang biasa dikonsumsi masyarakat di dataran tinggi Isaan, di timur laut Negeri Gajah Laut. Jumlah penduduk di sana adalah sepertiga dari populasi total, mayoritas adalah etnis Lao.
Wilayah itu kering, miskin, dan jauh dari laut. Isaan terkenal dengan kulinernya yang kreatif lagi pedas, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada.
Termasuk koi plaa. Makanan itu dibuat dari ikan-ikan kecil yang ditangkap dari sungai dan danau yang dicincang halus, ditambah bumbu, perasan jeruk nipis, dan semut merah hidup. Lalu diaduk rata, menggunakan tangan, dan disajikan mentah-mentah.
Hidangan tersebut sangat populer. Tapi, mengandung bahaya mematikan: kanker.
Selama beberapa dekade, populasi di timur laut menarik perhatian gara-gara tingkat penderita kanker hati yang tinggi -- yang sering dikaitkan dengan liver flukes atau cacing hati (Fasciola hepatica), sejenis parasit, yang ditemukan pada ikan mentah.
Namun, baru dekade terakhir upaya dilakukan untuk membuat orang mengubah kebiasaan makan mereka, dengan memasak koi plaa -- agar parasit mati -- sebelum memakannya.
Dr. Banchob Sripa dari Tropical Disease Research Laboratory di Khon Kaen University adalah tokoh di balik upaya tersebut. "Kami telah menyelidiki kasus tersebut di laboratorium selama 30 tahun," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Senin (15/6/2015).
"Kami menemukan bahwa cacing hati bisa membuat zat kimia yang merangsang respons -- pembengkakan. Dan setelah beberapa tahun, pembengkakan menjadi kronis, dan menjadi kanker."
Tim menemukan bahwa dalam sejumlah komunitas, lebih dari 80 persen warganya terinfeksi parasit. Bahkan ada pasien yang baru berusia 4 tahun. Namun, kanker jarang berkembang sebelum seseorang mencapai usia 50 tahun.
Pihak universitas menerima sekitar 2.000 pasien setiap tahun dengan kasus kanker hati jenis khusus yang disebut cholangiocarcinoma. Hanya sekitar 200 pasien yang bisa diobati, biasanya melalui operasi -- dengan memotong tumor pada liver atau hati.
Yang lainnya diberikan perawatan paliatif, mengurangi ketidaknyamanan -- biasanya dengan engeringan saluran empedu.
Dr. Banchob dan timnya menjalankan program pendidikan kesehatan berbasis masyarakat di desa-desa di sepanjang lahan basah besar, yang dikenal sebagai Lawa Lake, sebelah selatan Khon Kaen -- yang memiliki infeksi cacing hati tertinggi.
Â
Advertisement
Mereka memulai dengan menggunakan metode paling efektif, dengan merekrut tokoh masyarakat untuk bicara langsung pada warga.
Mereka juga menciptakan lagu yang mengandung informasi yang mudah dipahami, mengenai daur hidup cacing hati: larva yang tertanam dalam daging ikan, dikonsumsi dan tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam hati.
Telur kemudian diekskresikan, kembali ke perairan di mana mereka dimakan oleh siput, sebelum larva kembali ke tubuh ikan.
Menggunakan mesin ultrasound portabel, para ahli berkeliling desa untuk memindai warga, mendeteksi jika mereka menderita infeksi cacing hati.
Dari sana ditemukan, banyak orang sepuh memiliki tingkat infeksi tinggi, yang menunjukkan mereka masih mengonsumsi koi plaa mentah.
"Kadang aku memasaknya, tapi kadang-kadang aku lupa," kata Jongluck Laonongkwa (61).
Kampanye juga dilakukan untuk mencegah warga menggunakan toilet yang benar, tidak buang air di danau, untuk mengurangi jumlah telur yang bakal kembali ke ikan.
Di desa-desa di mana kampanye sudah berjalan, tingkat infeksi turun sekitar 10 persen.
Buruh waktu hingga jumlah kanker hati turun secara signifikan, namun yang terpenting adalah mengubah cara pandang orang-orang muda.
Kamphan Sapsombat, 71, sedang dirawat di rumah sakit akibat tumor di hatinya. Matanya menguning, tanda bahwa ada yang tak beres di saluran empedunya.
Putrinya, Rattana mengatakan, sang ayah makan ikan mentah sepanjang hidupnya. Tetapi anggota keluarga yang lain sudah menghentikan kebiasaan itu tahun lalu.
Mereka paham, seenak apapun rasa koi plaa, risiko besar seperti yang dialami ayahnya, sama sekali tidak sepadan. (Ein/Yus)