Liputan6.com, Kairo - Pemerintah Mesir baru saja mengeluarkan rancangan undang-undang antiteror terbaru. Salah satu pasal dalam undang-undang dapat menjerat juru warta dengan undang-undang terorisme.
Pasal tersebut menyatakan, bila media memberitakan kejadian yang berhubungan dengan aksi terorisme berbeda dengan pernyataan pemerintah](813539 ""), wartawan bisa dijebloskan ke penjara. Menurut asosiasi wartawan lokal setempat, pasal tersebut membahayakan pekerja media dan kemunduran bagi kebebasan pers di Mesir, seperti dikutip dari CNN.
Dalam draf tersebut terdapat 25 kejahatan yang diancam hukuman mati. Rancangan tersebut telah disetujui oleh kabinet dan Dewan Negara tinggal menunggu persetujuan Presiden Abdel-Fattah-el-Sisi.
Rangkaian serangan pos-pos militer di Sinai dekat Gaza membuat militer Mesir harus menyiagakan pasukan terus-menerus. Menurut versi militer, serangan tersebut telah membunuh 17 prajurit dan 200 militan. Tetapi beberapa media lokal dan internasional menulis 50-70 tentara tewas.
Pemerintah mengkritik keras laporan tersebut. Untuk mengantisipasi propaganda anti-militer, Menteri Pertahanan Mesir mengeluarkan rilis video yang mengatakan bahwa laporan tersebut salah.
Setelah rangkaian penyerangan dan pembunuhan Jaksa Agung Mesir, Kementerian Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry, menggelar jumpa pers dengan wartawan lokal, asing, dan pengamat. Dalam pertemuan rutin tersebut, mereka mengeluarkan semacam panduan meliput aksi terorisme di Mesir. Dalam panduan itu diharapkan media menulis "teroris, pemberontak," daripada "jihadis".
Menurut Ketua Komite Kebebasan Pers Mesir, Khaled El-Bashy, rancangan tersebut merupakan kemunduran luar biasa. "Wartawan dibatasi dalam akses sumber hanya dari pemerintah, tidak boleh selain mereka. Dan beritanya akan dianggap berita salah hingga wartawan bisa dijebloskan ke penjara minimal dua tahun."
Komite tersebut akan segera mengadakan pertemuan dan melobi pemerintah untuk membatalkan UU itu. "Pemerintah Mesir tidak mau wartawan mengakses sumber selain pemerintah. Kami benar-benar dibatasi," ujar El Bashy.
Mesir mempunyai sejarah dengan kebebasan pers, dalam kurun waktu 2014, Mesir telah menahan 46 wartawan. Mereka dianggap mendukung Ikhwanul Muslimin dengan pemberitaannya. Yang terbaru, pada 2015, terdapat 18 wartawan ditahan di Mesir. Menurut laporan Reporters Withouth Borders, Mesir adalah negara kedua terbesar dalam memenjarakan wartawan. (Rie/Yus)