Liputan6.com, Tokyo - Siang itu, kabin pesawat All Nippon Airways (ANA) penerbangan 58 diliputi sukacita. Dari total 155 penumpang yang ada di dalamnya, 125 di antaranya adalah penduduk Fuji, sebuah kota kecil dan sepi di Jepang. Mereka --yang berasal dari keluarga yang menderita akibat Perang Dunia II dan kehilangan anggota keluarga dalam pertempuran-- baru saja pelesir ke Hokkaido, pulau yang indah di bagian utara Negeri Matahari Terbit. Sepanjang penerbangan dari Chitose Airport di Sapporo ke Bandara Haneda, Tokyo diwarnai perbincangan seru tentang pengalaman liburan. Sebagian tertidur pulas, kelelahan. Denn R Carpenter, asal Miami, Amerika Serikat, juga ada di dalam pesawat. Pria 31 tahun itu tinggal di Osaka. "Dua bulan sebelumnya, istrinya, Ruth, pulang ke Florida menunggu kelahiran anak pertama mereka," demikian seperti dikutip dari Chicago Tribune yang terbit 31 Juli 1971.Sekitar 1,5 jam kemudian, di ketinggian 28 ribu kaki, mara bahaya menghampiri.
Baca Juga
Tanpa disadari para penumpang, kepanikan terjadi di kokpit. Pilot Boeing 727 itu menyadari bahwa pesawat yang ia kemudikan bertemu moncong 2 jet tempur Mitsubishi F-86F Sabre milik pasukan bela diri. Pesawat militer pertama dipiloti siswa penerbang berusia 22 tahun Yoshimi Ichikawa, yang pengalaman terbangnya baru 21 jam. Jet kedua dikendalikan instrukturnya, Tamotsu Kuma. Kala itu, mereka sedang berlatih manuver tempur udara. Tak ada satu pun dari burung besi itu yang dilengkapi radar. Mereka tak sadar, sebuah pesawat penumpang sedang mendekat. Pilot ANA 58 adalah Saburo Kawanishi. Pria 41 tahun adalah penerbang berpengalaman yang mengantongi 8.000 jam terbang. Meski segala upaya dikerahkan, ia tak sanggup menghindar dari maut.
Advertisement
Â
'Mayday'
Siswa penerbang Ichikawa sempat diperintahkan untuk menjauh dari Boeing 727 yang kian dekat, tetapi gagal. Tepi sayap kanan F-86 menabrak penstabil horizontal pesawat All Nippon Airways dan membuat kapal terbang sipil itu menukik tajam lalu hancur di udara. Sang penerbang hanya sempat meneriakkan kata "Mayday" sebelum tabrakan terjadi.
Jumat 30 Juli 1971 pukul 14.00, di langit Morioka dekat Shizukuishi, Prefektur Iwate, 162 nyawa penumpang dan awak pesawat melayang seketika. Sayap F-86 juga patah. Namun, Yoshimi Ichikawa berhasil lolos dengan kursi pelontar dan turun menggunakan parasut. Jet tempur itu berakhir di area persawahan, sementara puing ANA 58 menyebar, bercampur dengan jasad manusia dan segala barang bawaan penumpang, serta perlengkapan pesawat. "Yoshimi Ichikawa dikenai dakwaan pembunuhan tanpa kesengajaan. Namun pengadilan membebaskannya dari tuduhan," demikian dikutip dari history.com. Saat itu, kecelakaan tersebut adalah kecelakaan udara paling mematikan dalam sejarah. Mematahkan rekor kecelakaan Viasa 742 pada 16 Maret 1969, yang jatuh di wilayah ramai di Maracaibo. Nyawa 155 orang melayang kala itu -- 84 awak dan penumpang pasawat, dan 71 korban yang berada di darat saat kecelakaan. Selain musibah terparah dalam sejarah maskapai All Nippon Airways, tanggal 30 Juli juga menjadi momentum sejumlah kejadian penting. Pada 1626, gempa mengguncang Naples, Italia. Kehancuran meliputi 30 kota. Lindu juga menewaskan sekitar 70 ribu manusia. Sementara itu, 30 Juli juga dirayakan rakyat Vanuatu sebagai hari kemerdekaan. Republik itu menjadi negara merdeka pada 1980, setelah lepas dari penjajahan Prancis dan Britania Raya. (Ein/Ans)