Sukses

Saat Bomber Bom Bali Ali Imron Bertemu Keluarga Korban

"Saya tidak akan mau berjabat tangan dengan orang yang telah membunuh 5 teman saya dan 88 orang Australia."

Liputan6.com, Jakarta - Pada 12 Oktober 2002 malam, Ali Imron ikut mengemudikan Mitsubishi L-300 sarat bahan peledak ke arah Paddy's Pub dan Sari Club di Legian, Bali.

Tak lama kemudian, langit Pulau Dewata memerah, api berkobar bercampur asap hitam. Teriakan kesakitan, pekik minta tolong, dilengkapi lengkingan sirene. Bali dibom. 

Ali Imron sama sekali tak cedera. Ia juga tak dieksekusi mati bersama "Trio Bom Bali" Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron alias Mukhlas -- yang berakhir di Bukit Nirbaya, Pulau Nusakambangan, pada 2008 lalu.

Namun, apa yang ia perbuat bersama komplotannya menewaskan 202 jiwa dan mencederai 209 lainnya. Bukan luka biasa. Kulit terkelupas, bagian tubuh terpisah, dan trauma yang sulit hilang.

Baru-baru ini, Ali Imron dihadapkan pada para keluarga korban Bom Bali I. Dalam program SBS 'Dateline', ia bertatap muka dengan Nyoman Rencini, yang kehilangan pasangan hidupnya. Ada juga Jan Laczynski yang 5 rekannya tewas dalam tragedi itu. Orang ketiga, Nih Luh Erniati, ikut menatap langsung "pembunuh" suaminya. 

Menahan emosi, Jan Laczynski bertanya kepada Ali Imron, "Kenapa kau mau mengendarai mobil yang di dalamnya ada bom?" kata dia. "Kau bisa tidur nyenyak malam itu?"

Sementara, sebelum momentum pertemuan, perasaan Nyoman Rencini tak menentu. "Teman saya bertanya, 'kalau Ali Imron minta maaf, apakah kamu akan memaafkannya?' Saya jawab, tidak tahu, kita lihat saja nanti," kata dia seperti dikutip dari ABC.

Atas perannya dalam Bom Bali I, Ali Imron "hanya" divonis penjara seumur hidup. Sebelumnya, ia diancam pasal hukuman mati, namun ia setuju untuk bekerja sama dengan polisi untuk membongkar jaringan kelompoknya. 

Adik kandung Ali Gufron dan Amrozi itu bahkan menjalani program deradikalisasi untuk mengubah pemikirannya tentang jihad.

Meski mengaku tobat, Ali Imron mengaku banyak "tawaran" untuk melakukan pengeboman lagi. "Padahal saya berada dalam penjara, tapi ada saja tawaran untuk nyari bom," kata pria kelahiran 1979 itu.

"Saya tak mensyukuri kejadian bom di Bali," katanya kepada Dateline. Namun, "Saya bersyukur bahwa saya adalah salah satu pelaku yang telah sadar bahwa apa yang kami lakukan salah. Dan saya menyesal."

Ali Imron mengaku telah meminta maaf kepada semua orang, terutama kepada korban dan keluarga mereka. "Semenjak saat itu saya tidak pernah bunuh orang lagi. Saya bukan monster."

Terkait peran dalam Bom Bali I, Ali Imron mengaku harus mematuhi perintah para pemimpinnya. "Saya hanya mematuhi perintah senior saya di Jemaah Islamiyah dan kakak saya Mukhlas," jelas Ali Imron.

Jika ia tidak tunduk pada perintah ia bisa dicap sebagai pengkhianat. "Korban dan keluarga korban benci saya, juga dengan bekas jaringan saya," kata Ali Imron dalam pertemuan itu. "Jadi, pada dasarnya saya menanggung beban yang paling besar."

Meminta maaf tak semudah memaafkan. Ketika Imron masuk ke ruangan, dia mengulurkan tangan ke Laczynski. Namun, jabat tangannya itu ditepis.

"Tidak, terima kasih, saya tidak akan mau bersalaman dengan orang yang telah membunuh 5 teman saya dan 88 orang Australia," kata Laczynski.

"Apakah kamu sungguh-sungguh menyesal?" tanya Laczynski.

"Saya katakan saya telah meminta maaf kepada semua, terutama korban dan keluarganya," jawab Ali Imron. "Dan saya yakin, itu adalah jihad yang salah."

Berada seruangan dengan pelaku teroris yang menewaskan 5 rekannya sama sekali tak terbayang di benak Jan Laczynski.

"Saya pada dasarnya tidak sudi berada dalam satu ruangan bersama dia. Namun, pada waktu bersamaan, saya ingin tahu, kenapa ia membunuh teman-teman saya?" kata pria itu sebelum pertemuan.

"Dia setengah manusia, setengah binatang," kata Nyoman Rencini yang ditinggal mati suaminya dan harus membesarkan 3 anak sendirian.

"Beberapa teman menyarankan agar saya membawa pisau atau benda tajam untuk dihujamkan ke tubuhnya. Tapi saya tak mau melakukannya."

Sehabis ledakan (SBS)

Nih Luh Erniati tak terkesan dengan pertemuan itu. "Saya tahu apa yang ada di pikirannya," kata dia setelah pertemuan. "Ia mendengarkan kami semua, tapi tak satu pun tanda penyesalan atau simpati di mukanya."

2 dari 2 halaman

Belum tentu bisa menahan emosi

Belum tentu bisa menahan emosi

Kevin Paltridge kehilangan anaknya Corey dalam peristiwa Bom Bali I. Tujuh pemain klub Football Kingsley juga tewas saat bom mengirim bola api di Sari Club.

Kevin mengatakan bahwa pertemuan dengan pelaku teroris tak akan mengobati perasaan keluarga korban.

"Saya malah justru akan melakukan tindak kekerasan," katanya  kepada Dateline. "Saya bahkan telah mendaftar sebagai algojo (untuk mengeksekusi mereka), saat itu saya sangat marah luar biasa, mungkin sekarang masih."

Kevin Paltridge bahkan tidak tahu apakah ia bisa mengontrol emosinya kalau ia berada di dalam pertemuan itu. "Tidak ada minat untuk bertemu dengan mereka. Justru tangan saya yang akan melayang ke pipinya. Menamparnya."

Dia bisa memahami kenapa Jan Laczynski tidak mau berjabat tangan dengan Ali Imron.

"Kalau itu saya, satu tangan saya akan menjabat tangannya, sementara tangan lain akan menggampar mukanya," kata Kevin geram. Masih ada tanya yang ingin ia sampaikan dengan pelaku pemboman yang merampas hidup putranya: kenapa?

Kevin Paltridge memeluk rekan anaknya (SBS)


Bagi korban, atau keluarga dan kerabatnya, bertemu pelaku tidaklah mudah. Bahkan, mungkin akan membawa efek psikologis yang cukup berat. Membangkitkan trauma.

"Ini bisa sangat berbahaya," demikian pernyataan lembaga Anxiety Australia. Sementara itu, psikolog dari University of Queensland, Justin Kenardy, mengatakan tergantung bagaimana kondisi keluarga menghadapi pelaku di depannya.

"Kalau korban atau keluarga dalam kondisi sangat tertekan atau alam pikirnya tidak dalam kondisi yang baik, pertemuan semacam itu tidak produkti," kata Justin Kenardy. "Ini malah menambah ketakutan, kebingungan, mempengaruhi bagaimana mereka memecahkan masalah yang selama ini mereka hadapi."

Tapi, buat sebagian orang, itu bisa berefek positif.

"Kalau korban atau kerabat selama ini telah mendapat cukup dukungan, telah dalam proses recovery yang cukup, dan bisa beradaptasi lebih baik, pertemuan ini akan bermanfaat," jelas dia. (Rie/Ein)

Â