Sukses

‘Horor’ El Nino yang Mematikan Bakal Terulang?

Ribuan manusia tewas saat El Nino terjadi pada 1997-1998. Mungkinkah bencana akan terulang tahun ini?

Liputan6.com, Jakarta - Juanito Masangkay berjalan menembus gelap, menuju sawah. Bertani adalah mata pencahariannya, tetapi malam itu tak sedang bercocok tanam. Alih-alih cangkul, justru busur panah yang tersandang di bahunya.

Sejak Februari lalu, hujan tak kunjung datang. Sawahnya kering kerontang. Tanaman padi tak sanggup hidup. Menjuntai kering dan cokelat di sela retakan tanah. Mungkin hanya keajaiban yang bisa memunculkan bulir-bulir beras dari sana.

Maka, demi menghidupi istri dan 7 anaknya, pria itu terpaksa jadi pemburu dadakan. Berburu tikus.

"Kadang kami memanggangnya. Bisa juga dibuat adobo," kata dia seperti dikutip dari International Business Times.

Adobo adalah masakan khas Filipina. Tumisan daging, makanan laut, atau daunan dengan bumbu rendaman cuka vinegar, kecap kedelai, dan bawang putih. Bentuk jadinya sekilas seperti semur. Bagaimana rasa daging tikus? Menurut Masangkay, lumayan sedap, "Mirip ayam."

Ekor hewan pengerat itu juga bisa ditukar jadi beras. Pemerintah Filipina menerapkan program pemberantasan hama pertanian: tikus yang ia makan itu.

"Kami memotong buntutnya, mengeringkannya, dan menukarkannya dengan beras," tambah Masangkay.

Para petani di Filipina menjadi salah satu korban pertama El Nino tahun ini. "Kami sudah mengalami musim kering selama 3 bulan. Bahkan, sejak Januari lalu kami tak bisa menanam apa pun. Kami semua di Taculen berdoa hujan lebih sering turun," kata Benny Ramos, petani di wilayah Filipina selatan.

'Bocah lelaki' itu datang...

April lalu, para ilmuwan di Amerika Serikat mengumumkan El Nino telah tiba. Namun, kata mereka, "masih lemah".

Siklus cuaca alami, El Nino dimulai dengan pemanasan di Samudra Pasifik yang berujung pada distorsi pola cuaca di seluruh dunia.

Pada pekan ini, peringatan datang dari Badan Meteorologi Australia. Para ahli di sana memprediksi El Nino bisa jadi fenomena ‘substansial’ pada September, yang akan membawa kekeringan, dan sebaliknya, banjir ke wilayah terdampak.

Pengamatan El Nino (NOAA)

 

Pada peristiwa El Nino 2009 lalu, ladang gandum di Australia hancur, panen di sejumlah wilayah Asia gagal total. Akibatnya, harga pangan dunia melonjak: padi, jagung, kelapa sawit. Di India, banyak orang yang bunuh diri karena gagal panen dan terjerat utang -- peristiwa tragis yang kerap terjadi belakangan, ketika Bumi kian panas.

Namun, salah satu El Nino terparah dalam sejarah terjadi pada 1997-1998. Ada 24 ribu manusia tewas kala itu, secara langsung maupun tak langsung. Kerugian ekonomi mencapai US$ 34 miliar.

Efeknya pun global. Curah hujan tinggi di Amerika dan Eropa memicu banjir besar. Sebaliknya, di Indonesia, India, Australia, dan Afrika terjadi kemarau panjang.

Tak hanya itu, api yang tersulut di hutan yang kering kerontang di Sumatra dan Kalimantan memicu kebakaran hebat, asap yang mencekik jalur napas menyebar hingga negeri jiran.

Kebakaran hutan di Indonesia (Reuters)

Para ilmuwan memperkirakan, jumlah energi panas yang membentuk El Nino 1997-1998 bahkan lebih dari sejuta kali bom atom Hiroshima.

Dan celakanya, itu berpotensi terulang tahun ini. Meski para ilmuwan belum bisa menebak kekuatannya.

"Kami belum pernah melihat tanda-tanda seperti ini terjadi di area tropis Samudra Pasifik sejak 1997," kata ilmuwan iklim Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Bill Patzert seperti dikutip dari The Blaze. "Belum bisa dipastikan apakah kita akan mengalami El Nino yang kuat. Tapi yang jelas, tanda-tandanya menguat."

Menurut Badan Kelautan dan Atmosfer AS atau National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), saat ini ada 90 persen peluang bahwa El Nino akan berlanjut hingga musim dingin. Kemungkinan fenomena alam itu makin panjang hingga awal musim semi 2016 adalah 80 persen.

"El Nino kali ini menjadi 'harapan besar' bagi orang-orang di pesisir barat Amerika Serikat. Untuk menyelamatkan mereka dari kekeringan," tambah Patzert. Kekeringan terutama terjadi di California.

Namun, jika yang terjadi seperti 1997, itu akan jadi "sumber kekacauan".

2 dari 3 halaman

Kisah Tumbal Manusia

El Nino yang terjadi pada 1997, 18 tahun lalu, memicu curah hujan 16 kali lebih besar dari biasanya. Wilayah pesisir Tumbes mengalami banjir besar, akses jalan terputus, sejumlah desa terisolasi selama berbulan-bulan.

Efeknya tak hanya dirasakan saat itu, tapi bertahun-tahun setelahnya: mempengaruhi pertumbuhan anak-anak yang lahir setelah El Nino.


"Tingkat tinggi badan anak-anak mirip lingkaran pohon. Bisa mengindikasikan terjadinya bencana alam," kata William Checkley dari Johns Hopkins University di Baltimore, Maryland seperti dikutip dari situs sains New Scientist.

Kondisi tersebut diduga akibat malnutrisi akibat jumlah pangan yang menurun saat banjir, diare akibat mengonsumsi air tak bersih, juga kurangnya akses ke layanan kesehatan.

Tim yang dipimpin William Checkley mengunjungi 59 desa terdampak El Nino untuk mengukur tinggi dan berat badan lebih dari 2 ribu anak berusia antara 7-17 tahun.

Anak-anak dari desa terdampak El Nino mengalami pengurangan massa otot. Tinggi badan mereka berkurang 4 cm dari anak-anak yang lahir sebelum kejadian alam itu.

El Nino di Peru telah terjadi selama ribuan tahun.

Pusat Kerajaan Inca, Machu Picchu (www.uwosh.edu)

Di kuil Matahari dan Bulan Suku Inca di pegunungan Andes, para arkeolog menemukan 80 jasad manusia, yang diyakini tewas sebagai tumbal.

Dr Steve Bourget dari University of East Anglia yakin, manusia-manusia yang tinggal kerangka itu sengaja dikorbankan untuk menenangkan para dewa, agar menghentikan hujan badai selama El Nino.

"Di pantai utara Peru hampir tidak pernah hujan ... hujan seperti itu hanya terjadi selama Nino," kata dia seperti dikutip dari BBC.

Bahkan kuil di atas gunung terancam tak lagi ajek berdiri. Tanah tempat bangunan itu berdiri kian terkikis guyuran air dari langit.

"Mereka mungkin melakukan pengorbanan. Mencoba dan menghentikan hujan." Sebuah upaya yang sia-sia, karena El Nino adalah sejarah yang berulang.

3 dari 3 halaman

Ancaman Buat Indonesia?

El Nino bisa jadi pengulangan musibah. Sebelumnya, sebagian Bumi terpanggang gelombang panas. Terutama India dan Pakistan.

Pada Mei 2015 lalu, hampir 1.700 orang meninggal akibat terpapar suhu udara yang mencapai 48 derajat Celsius di India. Sedangkan, suhu di Pakistan sempat menyentuh angka 45 derajat Celcius dan menghabisi nyawa 1.500 orang.

Puncak El Nino tahun ini diperkirakan terjadi pada Oktober. "Intensitas tahun 2015 cenderung menguat sehingga bisa dimiripkan tahun 1997," ujar Kepala Bidang Informasi Iklim BMKG, Evi Lutfiati, ketika ditemui Liputan6.com di kantornya, Jakarta, Jumat 7 Agustus 2015.

Menurut BMKG, El Nino yang berlangsung sejak Mei hingga Agustus ini masih berlevel moderate alias menengah. Sebagian orang sudah merasakan kekeringan, meski lainnya masih beruntung karena air masih mengucur dari keran.

Di Tulungagung, Jawa Timur. Musim kemarau membuat warga Desa Banyu Urip, Kecamatan Kalidawir menggunakan air keruh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak hanya untuk mandi, mencuci, dan memberi minum ternak, juga untuk minum serta memasak.

Sementara, padi di 70 hektare sawah Desa Bakung, Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi pun mati. Padahal, usia tanaman itu baru 2 bulan.

Meski demikian, BMKG optimistis dampak kekeringan pada tahun ini berbeda dengan 1997. Pengalaman membuat pemerintah lebih siap.

"Dampak kekeringan 1997 sampai dengan 2015 beda. Penangannya lebih baik sekarang tentunya, instansi dan lembaga-lembaga sudah antisipasi dan siap dibandingkan tahun 1997," kata Evi.

Pada 24 September 1997, Departemen Sosial RI melaporkan 271 orang meninggal akibat bencana kelaparan di 22 desa dan 9 kecamatan di Kabupaten Jayawijaya dan Merauke.

Selama ini banyak yang menyalahartikan El Nino sebagai gelombang panas.

Sebenarnya, itu adalah suatu fenomena alam yang ditunjukkan dengan adanya penyimpangan suhu permukaan laut yang ada di wilayah sekitar ekuator Samudra Pasifik. Tepatnya di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur dekat Amerika Selatan.

Pengamatan El Nino (NOAA)

 

"Di situ suhu muka lautnya lebih panas. Di perairan wilayah Indonesia, maka masa uap air kita akan banyak bergerak ke wilayah timur dan tengah Pasifik. Sehingga wilayah kita kekurangan curah hujan," jelas Evi.

Menurut dia, semakin kuat El Nino, banyak pula massa uap air di Indonesia yang menuju ke wilayah Pasifik tengah dan timur. Tanah Air pun semakin kekurangan curah hujan atau kering.

El Nino biasa berlangsung selama 12-15 bulan. Namun, ia datang secara bertahap, dari level lemah (weak), naik ke sedang (moderate), hingga mencapai level kuat (strong).

Fenomena ini berulang 3-7 tahun sekali untuk level lemah dan sedang. Sementara, El Nino dengan intensitas kuat berulang bisa lebih dari 10 tahun.

"Kita hitung saja dari 1997 ke 2015, kira-kira berapa tahun. Kemudian sebelum 1997 ada juga pada tahun 1982-1983, itu intensitasnya kuat ya," jelas Evi.

Datangnya El Nino di Indonesia pada tahun ini telah terdeteksi Mei. Sedang kondisi kekeringan sudah terlihat sejak Juni di wilayah Timur.

"Memang kita sedang berlangsung musim kemarau sampai dengan Agustus-September. Tapi memang tahun ini musim kemarau kita dipengaruhi oleh fenomena El Nino dengan intensitas kalau sampai Juli kemarin itu moderate dan ini ada sinyal menguat pada Agustus. Nah, dampaknya kalau El Nino semakin menguat maka daerah-daerah kita semakin banyak kekeringan," tukas dia.

Namun, El Nino memberi keuntungan sendiri pada Indonesia. Turunnya suhu laut menyebabkan Indonesia banjir ikan Yellow Fin Tuna dan Skip Jack Tuna. (Ein)