Liputan6.com, Virginia - Kasus penembakan terjadi lagi di Amerika Serikat. Kali ini korbannya adalah dua orang jurnalis yang sedang meliput. Mereka ditembak mati oleh bekas rekan kerjanya. Hal ini membuat publik AS terkejut karena insiden berlangsung saat keduanya sedang melakukan siaran langsung.
Majalah investigasi Mother Jones dan Ted Miller, seorang ahli ekonomi dari Pasific Institute for Research and Evaluation menghitung dampak kerugian dari penyalahgunaan senjata di Amerika Serikat.
Menurut hasil penelitian ini 33 ribu orang Amerika Serikat terbunuh karena senjata api tiap tahunnya. Sementara 80 ribu orang terluka.
Advertisement
Biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah AS akibat penyalahgunaan senjata api ini sebesar US$229 miliar per tahunnya. Angka ini hanya beda tipis dengan angka alokasi kesehatan mereka sebesar US$251 miliar per tahun.
Biaya terbesar dikeluarkan oleh negara bagian Wyoming, yaitu US$1.397 per kapita. Sementara negara bagian Hawai memegang rekor sebagai angka terendah yang dikeluarkan pemerintah untuk kasus penembakan, yaitu US$ 234, diikuti negara bagian Massachussetts. 2 negara bagian ini juga mempunyai kasus penembakan terendah dibanding negara-negara bagian lainnya.
Kasus-kasus penembakan itu mayoritas penyalahgunaan senjata korban tewas 57% berasal dari kulit hitam. Pria kulit hitam AS 10 kali beresiko untuk ditembak dan mati daripada pria kulit putih. Sementara itu, perempuan kulit hitam beresiko 3 kali lebih besar untuk ditembak dan tewas dibanding perempuan kulit putih.
93% kasus bunuh diri dengan senjata api berasal dari kalangan kulit putih. Pria kulit putih tiga kali berpotensi melakukan bunuh diri dibanding pria kulit hitam.
Sementara itu wanita berkulit putih 4 kali lebih berpotensi membunuh dirinya dibanding wanita berkulit hitam.
Angka lain yang dapat diinvestigasi adalah, 84-86% penyalahgunaan senjata baik itu pelaku pembunuhan maupun bunuh diri dengan senjata api dilakukan oleh pria.
Sebuah artikel dari Vox menuliskan angka dan statistik kekerasan dengan senjata api di Amerika Serikat. Dikatakan dalam artikel yang diterbitkan 26 Agustus 2015, menyebutkan, AS diantara negara negara maju lainnya mengalami kekerasan terhadap pemakaian senjata lebih banyak dibanding negara maju lainnya.
AS mempunyai kasus pembunuhan dengan senjata 5 kali lebih besar dari Kanada dan 15 kali lebih banyak dari Jerman. 1 dari 4 orang AS memiliki senjata api. Hal ini seharusnya membuat Negeri Paman Sam seharusnya berada di keadaan gawat darurat senjata api.Â
Menurut statistik, ada sekitar 885 kasus penembakan massal semenjak kasus Sandy Hook pada Desember 2012, Sejak saat itu, total kematian adalah 1.144 sementara 3.180 terluka.
Namun definisi penembakan massal masih diperdebatkan oleh kalangan pemerhati kasus ini.
Definisi Penembakan Massal
Sebuah organanisasi bernama Mass Shooting Tracker memberikan pengertian lebih luas dari yang selama ini dipahami publik AS. Sebelumnya, definisi penembakan massal dari FBI adalah kejadian dimana 4 atau lebih orang tewas tertembak -- yang tidak ada hubungannya obat-obatan atau masalah keluarga.
"Pengertian FBI berarti bahwa penembakan massal dikategorikan apabila lebih dari 4 orang terbunuh dalam kejadian itu. Dan di luar masalah obat-obatan atau keluarga," demikian pernyataan pihak Mass Shooting Tracker.
Sementara organisasi tersebut memberi pengertian bahwa apa pun latar belakang kejadian penembakan, selama jumlah yang tewas atau terluka sekurang-kurangnya 4 orang, adalah sebuah penembakan massal.
"Jadi, pengertian kami adalah, setidaknya 4 orang korban (tewas atau luka) yang 'tertembak' di satu kejadian."
Organisasi ini ingin membuat insiden penembakan apapun yang melibatkan lebih dari 4 orang korban terluka ataupun tewas menjadi sebuah berita nasional. Agar masyarakat AS menyadari, itu sejatinya isu genting.
"Masyarakat AS memang tahu bahwa ada ada 4 orang ditembak Cincinnati pertengahan bulan lalu? Atau 9 orang terluka tembak di Fort Wayne? Kecuali kalian tinggal di situ, mana kalian dengar berita ini?" seperti dikutip dari laman organisasi itu.
Tahun lalu sebuah studi dari Universitas Harvard menyebutkan insiden penembakan massal di AS meningkat tajam semenjak 2011.
Mereka menemukan fakta sebelum tanggal 6 September 2011, rata-rata interval penembakan kurang dari 172 hari.
Dari tanggal tersebut hingga Oktober 2014, interval penembakan terjadi rata-rata 64 hari. (Rie/Ron)