Liputan6.com, Chengdu - Chengdu memiliki sejarah panjang selama 2.300 tahun sebagai pusat perekonomian di barat daya Tiongkok. Ia pernah menjadi ibukota sejumlah dinasti maupun kerajaan.
Kota tersebut adalah salah satu yang paling layak didiami. Karena keindahan dan kekayaan alamnya yang berlimpah, Chengdu berjuluk 'negeri surga'.
Karena relatif sejahtera sepanjang sejarahnya, orang-orang di ibukota Provinsi Sichuan itu punya pandangan hidup berbeda dengan penduduk di wilayah lain. Warga Chengdu ingin seperti panda, hewan asli daerah mereka, terutama yang ada di penangkaran. Hidup tenang, nyaman, dan cukup makan.
Advertisement
"Menurut sebuah survei, kota yang penduduknya paling lambat bangun dan jalannya paling pelan di China adalah Chengdu," canda pemandu wisata di Chengdu, Tiongkok, Zou Wenli.
Tak seperti kota lain, misalnya Beijing dan Shanghai, yang kemacetan jalan raya berkurang secara signifikan seiring makin baiknya transportasi umum, macet justru kerap terjadi di Chengdu.
"Di sini ada sekitar 2 juta mobil. Meski tersedia transportasi umum, warga memilih menggunakan kendaraan pribadi. Setelah gempa 2008 lalu, orang-orang punya semboyan hidup, 'nikmati hari ini'," tambah pemuda yang akrab dipanggil Allan itu.
Sudah lama jadi pengetahuan umum, bersenang-senang dan bersantai adalah bagian dari budaya warga Chengdu.
Penulis sekaligus filsuf terkenal Tiongkok, Yu Qiuyu pernah menghubungkan kehidupan nyaman dan lambat masyarakat di sana dengan sejarah dan kondisi geografis.
"Kota itu dikelilingi pegunungan. Hampir tak pernah mengalami kelaparan hebat atau perang besar," tulis Yu dalam "Cultural Odyssey". "Membuat penduduknya merasa aman dan memiliki rasa humor."
Namun, ada hal yang tak bisa dielak oleh penduduk Chengdu: perubahan. Kota mereka yang dulunya tenang dan agraris kini berubah jadi metropolitan alias mega-city.
Penduduk Chengdu membengkak dari sekitar 2 juta pada tahun 1980-an menjadi 14 juta jiwa saat ini. Diperkirakan, pada 2042, jumlahnya bakal menembus angka 30 juta.
Chengdu yang dulu agraris kini jadi belantara beton. Ada kawasan industri berteknologi tinggi yang mirip Silicon Valley, sementara Chengdu Greenland Tower -- gedung setinggi 467 meter sedang dibangun dan diperkirakan rampung pada 2018, juga telah berdiri bangunan superbesar New Century Global Center yang memiliki mal -- yang konon butuh waktu berhari-hari untuk mengunjungi semua tokonya.
Global Center yang diklaim sebagai bangunan terbesar di dunia itu bisa menampung 20 Sydney Opera House atau 3 Pentagon -- markas Departemen Pertahanan Amerika Serikat.
Kelak, jalur kereta bawah tanah (subway) di Chengdu juga akan diperluas, dari 2 jalur menjadi 10 pada tahun 2020.
Perkembangan Chengdu sejalan dengan ambisi China untuk menghidupkan kembali 'Jalur Sutra Baru' di Abad ke-21. Kota itu menjadi titik awal dari Southern Silk Road.
Pun sesuai dengan target Pemerintah Tiongkok yang menginginkan 60 persen rakyatnya tinggal di area perkotaan pada tahun 2020.
Bayangan desa kian memudar di Chengdu. Namun, tak sepenuhnya lenyap.
Jurang Kesenjangan
Pesatnya urbanisasi tentu saja menimbulkan efek samping, menciptakan kesenjangan antara kota dan desa yang kian menganga. Terutama soal kesejahteraan.
Untuk meminimalkan perbedaan kesejahteraan tersebut, Pemerintah Tiongkok meluncurkan program pariwisata pedesaan (rural tourism). Dan Chengdu dipilih sebagai pilot project.
Sansheng terletak sekitar 20 km dari pusat kota Chengdu. Daerah itu dulu dikenal sebagai penghasil bunga, khususnya anggrek dan tulip.
Kini, ia menjadi lokasi peristirahatan bagi warga perkotaan Chengdu. Untuk para turis yang ingin menyepi dan bersantai dari hiruk pikuk kota dan suara klakson mobil yang memekakkan telinga.
Sebaliknya, bagi para petani, tempat itu menawarkan kesempatan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Menyediakan gaya hidup yang dirindukan warga kota Chengdu: santai dan nyaman. Bisa minum teh di halaman, main mahjong, dan menggosip.
Sementara, bagi pihak pemerintah, Sansheng menjadi wahana untuk mempertemukan penduduk kota dan desa. Agar para petani tak merasa kian terpinggirkan.
Kawasan wisata itu menawarkan pemandangan alam yang indah, lingkungan hijau, makanan sehat, dan studio seni -- di mana para seniman bisa menyewa rumah dengan harga murah untuk dijadikan studio mereka.
Sejumlah galeri seni didirikan. Di mana para seniman, profesional dan amatir, lokal maupun asing, menumpahkan kreativitasnya. Bengkel gerabah dan furnitur, bersisian dengan kafe-kafe yang menjual cindera mata.Â
Â
Â
Pengunjung bisa menyewa sepeda untuk berkeliling, memandangi angsa yang mengapung di danau tenang, atau berjalan di antara ladang lavender atau hutan bambu.
Â
"Kami membuat hidup para petani lebih nyaman, dengan mendirikan rumah sakit, sekolah, sarana olahraga dan rekreasi," kata Bai Shi Qi, public relation San Sheng Xiang.Â
Penduduk yang sebelumnya berumah di atas tanah, kini dipindahkan ke apartemen tinggi. "Di tempat ini kami menerapkan gaya hidup 'hijau' dan rendah karbon. Menciptakan lingkungan yang sehat dan ramah lingkungan," tambah dia.
Perempuan cantik itu menambahkan, setiap tahunnya ada 12 juta turis yang datang ke area wisata tersebut. "Kebanyakan berasal dari Chengdu."
Bai Shi Qi mengklaim, pembuatan desa wisata meningkatkan pendapatan para petani. Sebelumnya pendapatan petani hanya sekitar 3.000 yuan per tahun atau setara Rp 6,6 juta. "Saat ini rata-rata 19.300 yuan (Rp 42,5 juta) pertahun," tambah dia.Â
Sentuhan teknologi juga diperkenalkan di San Sheng. Salah satunya rumah kaca untuk menanam tanaman, yang kelembaban dan suhu udaranya bisa diatur menggunakan aplikasi (app).
"Meski berada di luar kita masih bisa mengontrol rumah kaca, misalnya temperatur. Menggunakan Wi-Fi maupun internet," kata Chen Shuai, Deputy Director Asia and Africa Affairs Department of International Cooperation, National Development and Reform Commission (NDRC) Tiongkok.
Saksikan penataan desa wisata di Chengdu:
(Ein/Ali)
Advertisement