Â
Liputan6.com, Jakarta - Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
Sampai di mana kapan?
Baca Juga
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Advertisement
Aku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Di kursi listrikkan ataupun ditikam
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti..
Lirik lagu berjudul "Di Udara" tersebut dipersembahkan khusus oleh band indie alternatif Efek Rumah Kaca untuk pegiat hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Spirit lagunya, menurut Cholil sang vokalis sekaligus gitaris, adalah semangat perjuangan Munir yang tak akan pernah mati dalam kondisi apapun. Meski diancam, diburu, atau bahkan mati.
7 September 2004, atau tepat 11 tahun lalu, Munir meninggal dunia dalam perjalanan di pesawat menuju Belanda. Perjalanan Munir ke Negeri Kincir Angin itu untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Utrecht, Belanda. Mantan Direktur Eksekutif LSM Imparsial itu ditemukan tak bernyawa di kursi pesawat 2 jam sebelum pesawat mendarat di Armsterdam.
Munir yang merupakan salah satu Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) itu awalnya berangkat pada 8 September 2004 malam dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia bernomor penerbangan GA 974. Pesawat berangkat pukul 22.02 WIB dan tiba di Bandara Internasional Changi, Singapura pada 23.30 WIB.
Di Negeri Singa, para penumpang GA 974, termasuk Munir dipersilakan untuk berjalan-jalan di sekitar Bandara Changi selama 45 menit sambil menunggu pesawat kembali terbang menuju Belanda. Sebelum pesawat kembali mengudara, Munir meminta obat mag kepada pramugari. Munir diminta menunggu karena pesawat akan tinggal landas. Kira-kira 15 menit kemudian, pramugari membangunkan Munir yang saat itu tidur. Munir sempat terbangun dan meminta teh hangat.
Kemudian, sekitar 2 jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam atau sekitar pukul 12.10 WIB, Munir ditemukan tidur dalam kondisi miring dengan mulut mengeluarkan air liur tidak berbusa dan telapak tangannya membiru. Munir ternyata sudah tiada alias wafat. Jenazah Munir dimakamkan di kota Batu, Malang, Jawa Timur, pada 12 September 2004.
Menurut ahli forensik dari Universitas Indonesia yang menangani kasus Munir, Mun'im Idris, Munir positif meninggal karena racun arsenik. Temuan ini senada dengan Institut Forensik Belanda (NFI) yang membuktikan bahwa beliau meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.
Sesuai dengan hukum nasionalnya, pemerintah Belanda melakukan otopsi atas jenazah almarhum. Temuan ini juga diperkuat hasil penyelidikan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri yang menyatakan Munir tewas karena diracun.
Mun'im yang kini telah almarhum menjelaskan, ketika singgah di outlet Coffee Bean, Munir diduga bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus pembunuhan Munir yang kini telah menghirup udara segar karena bebas bersyarat.
Berdasarkan sejumlah fakta, Mun'im meyakini bahwa Munir tidak diracun di atas pesawat, melainkan pada saat Pollycarpus mengajaknya minum di Coffee Bean Bandara Changi Singapura. Menurut dia, hanya di tempat itulah kemungkinan peracunan Munir bisa terjadi.
Dijelaskan Mun'im, Setelah minum di Coffee Bean, Munir mengeluh sakit perut dan meminta obat mag. Di atas pesawat, Munir sempat muntah dan kejang-kejang sebelum dinyatakan meninggal.
"Dari situ Munir sering ke toilet. Dia merasa menderita muntaber," tulis Mun'im dalam bukunya bertajuk "X-Files: Mengungkap Fakta Kematian Bung Karno Sampai Munir".
Terdakwa kasus pembununah Munir, Pollycarpus yang merupakan mantan pilot Garuda Indonesia dijatuhi vonis 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 Desember 2005. Kemudian, pada 28 November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat setelah menjalani 8 tahun masa tahanan.
Pollycarpus sendiri berkali-kali membantah soal pemberian racun di Bandara Changi. Bantahan itu juga ditegaskan saat baru keluar dari penjara saat bebas bersyarat.
Selain Pollycarpus, mantan petinggi militer dan intelijen, Mayjen (purnawirawan) Muchdi PR ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana Munir pada 19 Juni 2008. Namun kemudian, pada 31 Desember 2008 Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menvonis Muchdi PR bebas murni dari segala dakwaan karena dianggap tak ada bukti yang kuat.
Munir lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965. Semasa hidupnya, sarjana hukum lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini dikenal luas sebagai pejuang HAM.
Pada 1998, Munir yang saat itu itu masih remaja pernah menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award. Pada 2000, dia dinobatkan sebagai Young Leader for the Millennium in Asia versi Majalah Asia Week.
Tak hanya itu, pada Oktober 2005, Munir mendapat penghargaan "Civil Courage Prize 2005" dari Yayasan Northcote Parkinson Fund. Penghargaan tersebut juga diberikan kepada Min Ko Naing (aktivis oposisi Myanmar), dan Anna Politkovskaya (jurnalis Rusia).
Nama Munir baru-baru ini diabadikan sebagai nama jalan di Den Haag, Belanda. Tertulis di nama jalan itu, "Munir Said Thalib 1965-2004, Pejuang Hak Asasi Manusia Indonesia". Selain itu, nama Munir juga menjadi nama salah satu ruang pertemuan di kantor Amnesty International Belanda. (Ali/Nda)