Liputan6.com, Tokyo - Perkelahian pecah di Majelis Tinggi Jepang menjelang pemungutan suara setelah langkah kontroversial pemerintah untuk memperluas peran angkatan bersenjata Negara Matahari Terbit itu. Undang-undang itu akan mengamandemen konstitusi tentang kepasifan milter Jepang yang memungkinkan militer Jepang membela sekutu-sekutunya di luar negeri bahkan ketika itu sedang tidak diserang.
UU ini sebelumnya telah disetujui oleh majelis rendah yang mendominasi pemerintah Jepang. Anggota parlemen oposisi pada Kamis (17/9/2015) menggunakan kekerasan fisik untuk mencegah perdebatan di rapat.
Baca Juga
Dalam sebuah adegan 'panas' dan langka, anggota parlemen berdesak-desakan di sidang majelis tinggi mengepung ketua komite keamanan, Yoshitada Konoike, saat ia membuka perdebatan, mencoba untuk merebut dokumen dari dia, dalam upaya untuk menghentikan disetujuinya UU ini.
Advertisement
Pihak oposisi juga mengajukan mosi tidak percaya terhadap Konoike, seperti dikutip dari BBC.
Awalnya, sebuah sesi pemungutan suara seyognyanya dimulai pada Rabu malam. Namun, mereka justru meninggalkan sesi tersebut. Sebelumnya mereka bahkan memblokir masuk anggota parlemen oposisi ke sebuah ruangan di mana Perdana Menteri Shinzo Abe dan menteri lainnya sedang menunggu untuk membahas RUU.
Setelah panitia memberikan suara pada rancangan UU, mereka akan diteruskan ke majelis tinggi, di mana koalisi yang berkuasa memiliki mayoritas, untuk pemungutan suara final.
Voting bisa terjadi pada akhir minggu, dan diperkirakan akan disetujui. Inilah mengapa oposisi UU keamanan mencoba mencegah pertemuan komite agar pemungutan suara tidak terjadi.
Jika majelis tinggi tidak meloloskan UU dalam waktu 60 hari, mereka harus dikembalikan ke majelis rendah. Inilah yang menjadi masalah utamanya. Majelis Rendah dikuasasi oleh Partal Liberal Demokratik (LDP) pimpinan Abe di mana memiliki suara mayoritas dua pertiga.
Akibat 'pemaksaan' PM Abe atas UU yang kontroversial ini, popularitasnya menurun. Â Jajak pendapat secara konsisten menunjukkan mayoritas publik menentang perubahan UU, dan relatif sedikit yang mendukungnya.
Apa itu pembelaan diri kolektif?
Pasca Perang Dunia II konstitusi Jepang melarang kekuatan militernya untuk menyelesaikan konflik kecuali dalam kasus pembelaan diri. Jepang menganut kekuatan militer yang pasif.
Abe membuat perubahan dalam UU yang membuat militer negara matahari terbit bisa memobilisasi tentaranya ke luar negeri dengan syarat Jepang atau sekutumya diserang Selama 70 tahun militer Jepang melaksanakan apa yang disebut pasifisme militer.
Pemerintah Abe menginginkan perubahan untuk merevisi undang-undang tersebut bahwa militer Jepang nantinya mampu dimobilisasi luar negeri ketika tiga kondisi ini terpenuhi:Â pertama ketika Jepang diserang, atau ketika sekutu mereka diserang, yang mengancam kelangsungan hidup Jepang dan menimbulkan bahaya.
Kedua, ketika tidak ada cara yang tepat lain yang tersedia untuk mengusir serangan dan menjamin kelangsungan hidup Jepang dan melindungi rakyatnya, serta penggunaan kekuatan terbatas jika diperlukan.
Sementara itu, ribuan demonstran berunjuk rasa di luar parlemen di Tokyo pada Rabu malam. Demo dilanjutkan pada keesokan harinya dengan jumlah peserta yang lebih kecil untuk menunjukkan posisi mereka yang tidak setuju atas usulan ini. 13 orang dilaporkan ditangkap pada Rabu malam.
Diperkirakan pemerintah Abe ingin meloloskan UU ini sebelum negara masuk ke dalam lima hari liburan yang jatuh pada hari Sabtu, yang dapat memberikan kesempatan unjuk rasa yang lebih besar.
Pemerintah mengatakan Jepang perlu meloloskan UU ini. Hal ini disambut gembira oleh AS--sebagai sekutu utamanya, untuk memastikan perdamaian regional dan keamanan dalam menghadapi meningkatnya kekuatan militer China.
PM Abe juga menekankan Negeri Matahari Terbit akan berpartisipasi lebih luas dalam misi penjaga perdamaian global.
Tapi oposisi mengatakan undang-undang tersebut melanggar konstitusi milter pasif pasca-perang Jepang, dan bisa mengarah ke konflik yang dipimpin AS.
Meskipun kemungkinan akhirnya kalah, para oposisi memberi apresiasi kepada pemuda Jepang yang selama ini apatis berpolitik. Para siswa adalah orang-orang yang berada di belakang keberatan ini, setelah sebelumnya protes UU yang penuh kontroversial dipimpin oleh serikat buruh dan aktivis sayap kiri. (Rie/Mut)