Liputan6.com, Jakarta - Hari itu, Jumat 26 September 1997, kawasan Sumatera diliputi kabut asap akibat kebakaran asap, termasuk beberapa wilayah di Sumatera Utara. Kondisi ini membuat penerbangan terganggu. Pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 152 bernasib nahas. Airbus A300-B4 celaka di langit Sibolangit saat hendak mendarat, di mana saat itu langit diselimuti kabut asap.
Seperti dilansir Airdisaster.com, pesawat menabrak tebing menancap tebing yang nyaris 90 derajat di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada pukul 13.30 WIB. Garuda tersebut hancur, patah dan terbakar.
Baca Juga
Seluruh penumpang berjumlah 222 orang, termasuk 2 jurnalis Liputan6 SCTV, Ferdinandusius dan Yance Iskandar, meregang nyawa. Tercatat pula, penumpang asing asal Amerika Serikat, Belanda, dan Jepang. yang juga 'pergi'. Selain itu, 12 awak pesawat tak ada yang selamat. Sebagian jasad korban yang identitasnya tak dikenali dimakamkan di Monumen Membramo, Medan.
Advertisement
Menurut transkrip percakapan antara petugas Air Traffic Control (Pemandu Lalu Lintas Udara) dan pilot yang dimuat situs tailstrike.com dan aviation-safety.net, saat kecelakaan terjadi, sempat terdengar pekikan 'Allahu Akbar' dari kokpit. Diduga, suara itu berasal dari sang pilot Rachmo Wiyoga atau kopilot Sutomo.
Sementara, Sarin br Bukit, penduduk setempat yang menjadi saksi mata langsung dari kejadian tersebut, tak mendengar suara apa teriakan dari pesawat. Kendati moncong pesawat nan besar nyosor ke arahnya.
"Saat itu saya benar-benar takut dan nyaris pingsan. Seluruh tubuh saya tidak bisa digerakkan. Namun telinga saya masih jelas mendengar, saat pesawat itu jatuh, tidak terdengar sedikit pun jeritan minta tolong atau mengaduh," ujar Sarin kepada harian Kompas, beberapa hari setelah kejadian.
Masih menurut transkrip yang beredar dan dimuat situs asing, sesaat sebelum pesawat pelat merah tersebut menabrak tebing, dikabarkan telah terjadi miskomunikasi antara pilot dan petugas ATC terkait belok kiri dan belok kanan, sebagaimana pembicaraan berikut:
ATC: GIA 152, turn right heading 046 report established localizer
GIA 152: Turn right heading 040 GIA 152 check established.
ATC: Turning right sir.
GIA 152: Roger 152.
ATC: 152 Confirm you're making turning left now?
GIA 152: We are turning right now.
ATC: 152 OK you continue turning left now.
GIA 152: A (pause) confirm turning left? We are starting turning right now.
ATC: OK (pause) OK.
ATC: GIA 152 continue turn right heading 015.
GIA 152: (scream) Allahu akbar! (Translation: God is great!)
Namun, belum ada laporan final di situs Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) soal tragedi ini. Yang pasti, berdasarkan hasil penyelidikan yang diumumkan secara resmi, kecelakaan Garuda ini disebut sebagai Controlled Flight Into Terrain (CFIT).
Seperti yang terjadi pada Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak pada 9 Mei 2012, pesawat ketika itu sedang dalam kondisi laik terbang dan di bawah kendali pilot, namun menabrak daratan.
Sejarah lain mencatat pada 26 September 1983, Perang Dunia III nyaris terjadi, jika saja ahli teknologi informasi di divisi sistem peringatan dini markas militer Uni Soviet, Stanislav Petrov melapor ke atasannya kalau Amerika Serikat telah meluncurkan rudal ke pihaknya.
Tapi Petrov memilih diam, ketimbang melapor agar Uni Soviet bertindak. Sebab nyatanya, telah terjadi kesalahan sistem. Negeri Paman Sam tidak meluncurkan rudal apa pun. (Ado/Vra)