Sukses

Saat Wanita Lajang Ikuti Program Bayi Tabung

Bukan hanya wanita bersuami yang menginginkan kehadiran seorang anak. Namun juga wanita lajang. Hal ini pun menimbulkan pro dan kontra.

Liputan6.com, London - Teknologi IVF, atau yang selama ini dikenal dengan ‘bayi tabung’ sudah ada sejak tahun 1978 lalu. Walau sempat memicu protes, kenyataannya, teknologi ini telah membantu pasangan yang kesulitan memiliki keturunan secara alami.

Namun, bukan hanya pasangan suami-istri. Wanita lajang pun kini rela membayar sebanyak 5000 poundsterling (setara Rp. 1,1 milyar) untuk memiliki keturunan melalui proses bayi tabung. Walau tanpa pasangan. Ada kurang lebih empat firma utama di Inggris, yang khusus membantu mereka. Salah satunya Care Fertility, yang memiliki lima pusat yang tersebar di seluruh London.

Klinik bayi tabung. (foto: Daily Mail)

Menurut dokter, sudah ada kurang lebih 25 wanita heteroseksual melahirkan dalam kondisi masih perawan melalui bayi tabung. Mereka rela membayar sendiri untuk menjalani perawatannya. Peraturan NHS negara bagian telah mengeluarkan pernyataan, bahwa wanita yang melamar untuk menjalani perawatan harus ‘sudah mencoba hamil dengan hubungan seksual tanpa pelindung’ dua tahun sebelumnya.

Maha Ragunath, direktur medis di klinik Nottingham, mengungkapkan pada Daily Mail: “Jumlah wanita lajang yang menemui dokter meningkat dua kali lipat sejak dekade lalu, dan setidaknya 10 persen menjadi pasien saya.”

“Banyak dari mereka yang berusia sangat muda, masih 20-an. Beberapa dari mereka masih kuliah atau memiliki pekerjaan yang biasa. Banyak yang masih tinggal dengan orangtua. Bukannya wanita karir yang tekun dan berfokus pada pekerjaan mereka.

Ketika ditanyakan mengenai alasan mereka mengikuti perawatan sering kali mereka mengungkapkan sudah siap memiliki anak, dan tidak perlu menunggu pasangan yang tepat untuk datang.

“Sebagian kecil bahkan tidak pernah memiliki hubungan serius dan tidak pernah berhubungan seksual. Mereka puas membuat keputusan sendiri. Dan tidak memikirkan implikasi yang akan dibawa oleh di anak, atau bahwa mereka akan menjalani hubungan baru.”

Sejak tiga tahun terakhir, Dr. Ragunath telah menangani tiga wanita lajang dan perawan. Satu seorang suster, yang kedua tinggal di rumah dengan orangtua, dan yang ketiganya membutuhkan beberapa kali perawatan bayi tabung. Ketiganya sudah menjadi ibu.

2 dari 3 halaman

Ditentang Pemuka Agama


Tidak semua orang senang dengan fenomena ini. Aktifis keluarga tradisional menyatakan bahwa fenomena ini menjadikan anak-anak seperti halnya ‘boneka’.

Louise Brown, orok yang dikandung melalui proses pembuahan yang dikenal dengan In Vitro Fertilization (IVF). (wired.com)

Josephine Quintavalle, salah satu anggota grup Comment on Reproductive Ethics, mengatakan: “dianggap apa seorang anak oleh wanita-wanita ini? Boneka yang bisa mereka ambil dari rak?”

Menurut Quintavalle, ‘pesan dari alam’ adalah seorang wanita dan seorang pria layaknya berpasangan dan menghasilkan seorang anak.

“Saya sedih Anda melanggar ini. Tidak adanya figur ayah merugikan anak. Sejak Anda memulai rute ini, di mana Anda ingin berhenti?”

Sedangkan, menurut grup relijius, hal ini menghapuskan pentingnya membawa anak-anak dalam hubungan pernikahan yang stabil. Sementara, psikoterapis mewanti-wanti bahwa seorang ibu yang tidak memiliki hubungan dengan komitmen bisa mengganggu perkembangan seorang anak.

Senada dengan menurut Uskup Carlisle, ‘tren’ di kalangan wanita muda yang menganggap mereka tidak butuh keluarga dalam memiliki anak akan ‘memiliki implikasi untuk masyarakat yang tidak menolong’.

“Idealnya, seorang anak memiliki ibu dan ayah yang masih menikah. Semua bukti menunjukkan itulah konteks terbaik untuk seorang anak,” ungkapnya.

Pemuka agama lainnya berpendapat serupa. Imam Suhaib Hasan, kepala Islamic Sharia Council Inggris, menuduh dokter bayi tabung “berlagak menjadi Tuhan”. Ia menyatakan : “Saat Anda menghapuskan peran pria dari ini, peran wanita jadi tidak lebih dari mesin beranak. Dalam kasus ini, si wanita menolak hak seorang anak untuk memiliki ayah.”

3 dari 3 halaman

Hak Para Lajang

Namun, ada juga yang tidak menentangnya. Laura Witjens, CEO National Gamete Donation Trust, menyatakan: “Wanita-wanita ini memiliki hak untuk memilih jalan ini jika mereka ingin. Klinik juga memiliki tanggung jawab untuk mempetinbangkan alasan mereka.”

Menurut Witjens, masyarakat cenderung ‘heboh’ jika mendengar seorang wanita lajang memilih menjadi ibu. Namun, menurutnya, para wnaita tersebut bisa jadi lebih siap secara finansial, sosial, dan emosional, jika dibandingkan dengan kaum ‘single mother’ yang tidak berhasil dalam menjalani hubungan.

Firma bayi tabung lainnya yang membantu wanita heteroseksual perawan termasuk The London Women’s Clinic. 

Tracey Sainsbury, konselor kesuburan senior dan petugas penelitian di London Women’s Clicic mengungkapkan setiap tahunnya ada dua wanita lajang heteroseksual ingin memiliki seorang anak.

“Setiap kasus berbeda,” ungkapnya. “Beberapa tidak pernah berpacaran. Lainnya pernah, namun tidak pernah berhubungan seksual. Beberapa lainnya wanita lesbian yang lajang. Bisa jadi, ada alasan psikologis atau medis mengapa mereka memilih untuk tidak berhubungan seksual.

“Beberapa menunggu orang yang tepat untuk berhubungan seks. Mereka belum menemukan orang yang tepat untuk berhubungan, namun mereka tahu ingin memiliki anak sekarang. Jika mereka merasa belum menemukan pasangan yang tepat, saya tidak merasa perawatan ini sebagai masalah.”

Menurut Sainsbury, hal yang sama berlaku bagi kaum lesbian yang melajang. Ia mengaku tidak pernah bertemu wanita lajang yang ke klinik tanpa alasan. Atau yang tidak pernah berpikir sama sekali mengenai implikasi keputusan yang mereka ambil. Baik untuk diri mereka sendiri, keluarga, dan yang terpenting, anak mereka nantinya.

“Tidak ada ketidakpastian mengenai keinginan mereka menjadi orangtua.” Ungkap Sainsbury.

Profesor Geeta Nargund, dari Create Fertility, dan Mohamed Taranissi, dari ARGC, mengatakan mereka juga sering membantu wanita perawan heteroseksual memiliki anak, namun cenderung mengutamakan mereka yang memiliki pasangan, namun ada isu dengan hubungan seksual.

“Ini cenderung merupakan hasil masalah psikologis atau fisik, walaupun pengaruh budaya dan agama bisa menjadi faktor,” ungkap profesor Nargund, yang mengaku kliniknya telah dikunjungi oleh pasangan sedemikian sejak 2010.

“Dalam beberapa budaya, stigma yang berhubungan dengan wanita tanpa anak membuat kaum wanita beramai-ramai mengunjungi klinik kesuburan. Selain dari mengkonsultasikan isu psikologis mereka.

Klinik menekankan bahwa semua wanita perlu menemui konselor sebelum menjalani perawatan, sehingga mereka bisa mengerti proses dan implikasi menggunakan sperma donor. Anak-anak yang lahir dengan cara ini memiliki hak untuk mengetahui ayah biologis mereka. (Ikr/Rie)