Liputan6.com, Jakarta - Kedinginan dan ketakutan di lokasi jauh dari rumah. Berbaring di matras yang kotor sembari membayangkan kenangan pilu kematian anggota keluarga. Foto-foto ini menunjukkan lokasi darurat di mana anak-anak pengungsi Suriah tidur.
Sejak 2011, perang antara pemerintahan presiden Suriah Bashar al-Assad dan grup pemberontakan termasuk ISIS dan anggota militer Suriah telah memakan korban jiwa 200.000 orang. Mengantarkan sejumlah kurang lebih 4 juta pengungsi. Di antara mereka tidak sedikit yang masih berusia kanak-kanak. Di usia yang sangat muda, mereka telah menyaksikan kekerasan di depan mata. Kehidupan mereka di kota yang tentram seperti Aleppo dan Homs pun terenggut.
Foto-foto menggugah hati ini mendokomentasikan kondisi anak-anak korban perang pada malam hari. Dalam perjalanan menyeberangi negara dan mencari kehidupan yang lebih baik. Sebagian dari mereka ada dalam perjalanan yang beresiko menuju Eropa bersama keluarga mereka. Sementara yang lainnya menjalani kehidupan kejam di jalan-jalan setelah ditinggalkan orang-orang yang dicintai.
Advertisement
1
Anak Anak Pengungsi Suriah
Abdullah, 5 tahun, tidur di sebuah matras kotor di stasiun pusat Belgrade. Ia mengidap kelainan pada darahnya dan menyaksikan saudara perempuannya dibunuh di rumahnya di Daraa, Suriah. Ibunya tidak memiliki uang untuk membiayai pengobatannya, dan Abdullah masih syok dan mendapat mimpi buruk.
Sham, si batita 1 tahun, digendong di lengan ibunya, menetap sementara di perbatasan Austria dan Serbia. Keduanya, yang putus asa dalam mencapai Eropa, tiba di area satu hari setelaj sekelompok besar pengungsi bisa masuk ke perbatasan.
Shehd, 7 tahun, suka menggambar. Namun, akibat trauma perang, ia hanya menggambar senjata api. Keluarganya kesulitan menemukan makanan selagi mereka berkelana di Hungaria.
Fatima, 9 tahun, merupakan salah satu yang beruntung telah mencapai Swedia. Bagaimanapun, ia dihantui kenangan adegan kejam yang ditemui selama perjalanannya. Setelah meninggalkan Idlib, Suriah, ia menghabiskan waktu dua tahun di pengungsian Lebanon bersama ibu dan saudara-saudaranya. Dalam perjalanan, mereka berdesak-desakan dalam perahu.
Advertisement
2
Shiraz, 9 tahun, masih berusia 3 bulan saat terkena demam dan didiagnosa dengan polio. Kini ia tidur di buaian dari kayu di pengungsian di Suruc, Turki. Orangtuanya tidak bisa menghabiskan uang banyak untuk pengobatannya.
Maram, 8 tahun, tidur di tempat tidur sementaranya di Amman, Jordan. Ia baru kembali ke sekolah saat sebuah roket menghancurkan rumahnya. Sepotong material atap rumah mengenai kepalanya. Mengakibatkannya terkena pendarahan otak. Selama 11 hari, ia ada dalam keadaan koma. Ia kini sudah sadar, namun rahangnya patah dan ia tidak bisa bicara.
Mohammed, 13, berharap bisa menjadi arsitek suatu hari nanti. Kini ia sedang berandai-andai sembari berbaring di tempat tidur barunya di Nizip, Turki. (Ikr/Ein)