Liputan6.com, Seoul - Langit masih merah jingga, 8 Oktober 1895, lebih dari 20 pria sangar berpakaian aneh, dengan pedang terhunus, menghambur ke Paviliun Okho-ru, yang berada di dalam kompleks Istana Gyeongbokgung.
Di sana tinggal Maharani Myeongseong, istri Raja Gojong, penguasa Korea ke-26 dari Dinasti Joseon. "Di mana Ratu Min!," teriak mereka ke arah para dayang istana yang pucat pasi, dengan tubuh bergetar ketakutan. Ratu Min adalah sebutan lain sang 'Jungjeon Mama'.
Para penyerang -- dari Resimen Hullyeondae dan para ronin Jepang -- yang dipimpin Letkol Woo Beomseon menebas 3 perempuan yang mereka duga sebagai wanita utama yang menyamar. Salah satu korban memiliki bekas cacar air pada pelipis. Ciri sang sang ratu.
Baca Juga
Setelah yakin jasad berdarah itu adalah Ratu Min, para pembunuh memperlakukan tubuh tak bernyawa itu dengan tak sopan. Mereka lalu membakar jenazah itu di sebuah pohon pinus di depan paviliun dan menyebar abunya.
Sang maharani wafat pada usia 43 tahun. "Setelah beberapa tahun salah satu pembunuh mengaku bahwa mereka melakukan tindakan yang kekejamannya tak bisa diwakili dengan kata-kata terhadap jenazah sang ratu," kata penulis buku tentang insiden pembunuhan itu, Fusako Tsunoda, seperti dikutip dari Chuson Ilbo. Tak hanya dengan pedang, tapi juga katana.
Pihak Jepang kala itu mencoba cuci tangan. Mereka lalu menyebar propaganda: bahwa pembunuhan tersebut adalah dampak perebutan kekuasaan antara Ratu Myeongseong melawan ayah mertuanya, Heungseon Daewongun. Dan bahwa pelakunya adalah segerombolan bandit asal Jepang.
Mengapa Ratu Min sampai harus dihabisi?
Pemerintahan Meiji Jepang menganggap Myeongseong sebagai penghalang ekspansinya ke luar negeri. Salah satu plot untuk menyingkirkannya dari arena politik telah dilakukan dengan upaya pemberontakan yang gagal, yang direncanakan oleh Heungseon Daewongu.
Setelah Kemenangan Jepang dalam perang Tiongkok-Jepang, Ratu Min mendorong penguatan hubungan Korea-Rusia, sebagai upaya menghalangi pengaruh Negeri Matahari Terbit -- yang menempatkan menterinya Miura Goro di Korsel.
Advertisement
Â
Setelah pembunuhan itu, untuk meredam protes internasional, Jepang memanggil pulang Miura dan menghadapkan dia ke hadapan hakim di Pengadilan Distrik Hiroshima. Sementara, prajurit yang terlibat diadili di pengadilan militer. Semua terdakwa -- yang berjumlah 56 orang -- diputus tak bersalah karena dianggap kurang bukti.
Apapun, pembunuhan tersebut memicu sentimen anti-Jepang di Korea dengan gerakan "Short Hair Act Order" dan sebagian rakyat membentuk Eulmi Righteous Army yang kerap menggelar protes di seluruh negeri.
Menyusul pembunuhan tersebut Raja Gojong dan putra mahkota -- yang kemudian menjadi Raja Sunjong lari dari istana dan mendapat perlindungan di Kedubes Rusia. Pada 1897, sang raja kembali ke Gyeongungung -- yang kini menjadi Deoksugung dan memproklamasikan Kekaisaran Rusia.
Perempuan 'Ambisius'
Sejak tandu berhias yang membawanya tiba di istana, sebagai mempelai sang raja, Myeongseong yang konon memiliki nama asli Min Jayeong sudah menunjukkan, ia bukan perempuan biasa.
Wajahnya lembut, namun garis mukanya tegas. "...Pada pandangan pertama, ia tak terlihat cantik. Namun, ambisi, kecerdasan, dan karakter yang kuat terpancar dari wajahnya," kata Lilian Underwood, misionaris AS yang datang ke Korea pada 1888.
Sang ratu tak suka pesta. Ia lebih tertarik urusan politik daripada gaun-gaun mewah yang disodorkan. Ia memilih tinggal dalam kamar, membaca buku-buku filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan.
Sementara, suaminya sungguh bertolak belakang. Sang raja menghabiskan waktu, siang dan malam menenggak minuman keras dan pesta pora. Kepada salah satu sahabatnya, Myeongseong mengaku 'jijik' dengan tingkah pasangannya.
Saat berusia 20 tahun, sang ratu mulai sering keluar dari kamarnya di Changgyeong Palace. Sejak itu, ia mulai bersitegang dengan ayah mertuanya Heungseon Daewongun.
Seiring berlalunya waktu, Myeongseong menjadi maharani yang memerintah bersama suaminya. Bahkan, dikenal lebih berpolitik dibandingkan sang raja. Ratu juga mengangkat orang-orang dekatnya untuk menduduki jabatan penting.
Ia juga seorang perintis. Pada September 1883, ratu mendirikan sekolah Bahasa Inggris dengan guru dari Amerika Serikat. Myeongseong juga memprakarsai akademi perempuan di Kora -- yang kini menjadi Universitas Ewha.
Pada Juli tahun yang sama, ia mengirimkan utusan yang dipimpin Min Yeong-ik, salah satu kerabatnya. Rombongan sempat makan malam bersama Presiden Chester A Arthur.
Meski sempat tak cocok di awal pernikahan, kematian Ratu Myeongseong membuat sang raja berduka. Ia kehilangan sandaran dan sosok cerdas yang membantunya pada masa-masa sulit.
Gojong sempat mengurung diri dalam kamar selama berhari-hari. Ia juga menolak mentah-mentah usulan ayahnya dan Jepang agar status Myeongseong diturunkan dari ratu jadi orang biasa saat pemakaman.
"Aku memilih mengiris nadiku, hingga berdarah-darah, daripada mempermalukan perempuan yang telah menyelamatkan kerajaan," tukas dia.
Meski insiden telah lama meninggal, dan kerajaan Korea sudah tamat berganti republik, Ratu Myeongseong tetap hidup dalam kenangan warga. Melalui novel, film, musikal, juga drama Korea yang kepopulerannya sampai di Indonesia.
110 tahun setelah kematian sang ratu, keturunan pembunuh sang ratu yang berasal dari Prefektur Kumamoto, Kyusu mengunjungi Korea untuk minta maaf.
Kata maaf minta maaf di depan makam Myeongseong. Mewakili kakeknya.
Selain pembunuhan sang ratu, tangga 8 Oktober juga menjadi momentum sejumlah kejadian penting. Pada 2014, akan terjadi gerhana bulan total yang membuat penampakan satelit bumi tersebut semerah darah atau disebut juga 'blood moon'.
Warna 'darah' terjadi karena karena Bulan tertutup oleh bayangan Bumi, namun cahaya matahari terbiaskan hingga menimbulkan kesan kemerah-merahan.
Sementara itu, pada 8 Oktober 2005, lindu 7,6 SR mengguncang Kashmir, Pakistan. Sebanyak 73.000 orang tewas.
8 Oktober 1967 juga jadi hari apes bagi Che Guevara. Pejuang revolusi Marxis Argentina itu tertangkap oleh tentara suruhan Presiden Bolivia Rene Barrientos. (Ein/Ans)
Advertisement