Sukses

Alasan Kita Menunda Pekerjaan, dan Tips Mengatasinya

Suka menunda pekerjaan? Ini bukan berarti semata karena kita malas atau kurang terampil.

Liputan6.com, Jakarta - Seringkali, pada akhirnya orang akan merasa bersalah jika harus menunda pekerjaan. 

Sebagian besar waktu, kita menunda pekerjaan, karena tidak terlalu peduli dengan proyek yang sedang dilakukan. Tak jarang juga kita sebenarnya peduli, namun, tanpa alasan yang kita sendiri paham, kita tetap saja menundanya.

Dalam satu titik dalam hidup, manusia pasti pernah merasakan saatnya di mana kita harus menunda pekerjaan untuk melakukan pekerjaan lainnya. Namun pertanyaannya, kenapa harus ditunda? 

Namun menghilangkan kebiasaan buruk yang sudah biasa atau telah tertanam sebagai karakter memang sulit.

Dilaporkan dalam Psychology Today, ada 4 aspek yang menjadi dasar dalam kecenderungan menunda. Yakni nilai dari penyelesaian tugas, deadline, usaha, dan identitas diri. Simak penuturannya!

2 dari 5 halaman

Kerjakan atau abaikan?

Kerjakan atau abaikan?

Semua berawal dari pilihan yang mudah, mengerjakan atau tidak.

Namun pilihan ini meluas: kerjakan pekerjaan yang berbeda, lakukan sesuatu menyenangkan, atau bermalas-malasan.

Keputusan untuk mengerjakan sesuatu sesungguhnya ditentukan oleh seberapa jauh kita menghargai hasil akhir pekerjaan. Psikolog sebut fenomena ini sebagai 'nilai subjektif'. Kebiasaan menunda terjadi pada saat kita lebih menghargai nilai pekerjaan lain dibanding nilai pekerjaan yang harus dilakukan.

Cara menghindarinya adalah dengan meningkatkan nilai subjektif dari pekerjaan yang harus dilakukan saat ini. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan nilai proyek, menurunkan distraksi, atau kombinasi keduanya.

Contohnya, dibanding bersih-bersih rumah, pikirkan mengapa mengerjakan tugas kuliah lebih penting bagi masa depan Anda. Ini strategi sederhana-- namun, kesulitan dalam prakteknya bisa terjadi, karena adanya dorongan dan tekanan yang meremehkan nilai proyek.

3 dari 5 halaman

Deadline

Deadline

Sebagian besar manusia seringkali tidak rasional dalam melakukan penilaian. Contohnya, uang Rp. 100 ribu akan memiliki nilai yang sama pada hari ini dan untuk seminggu ke depan. Namun, nilai subjektifnya, rasa senang dan puas kita dalam menerima jumlah tersebut bergantung pada faktor lain selain angka.

Dorongan distorsi dalam menghargai uang dan harta lainnya disebut 'diskon yang tertunda'. Contohnya, sebuah studi menunjukkan, menerima Rp. 1,4 juta tiga bulan dari sekarang memiliki reaksi yang sama dengan menerima Rp. 1,1 juta sekarang juga. Secara logika, mereka lebih memilih kehilangan Rp. 300 ribu ketimbang menunggu beberapa bulan untuk hadiah yang lebih besar.

Faktor lainnya juga dapat mempengaruhi nilai subjektif. Seperti berapa banyak pendapatan dan pengeluaran. Namun, pada akhirnya, nilai subjektif dan nilai objektif tidak pernah sama persis.

Diskon yang tertunda merupakan faktor dalam menunda pekerjaan, karena selesainya proyek terjadi di masa depan. Dalam kata lain, menyelesaikan pekerjaan adalah 'hadiah' yang tertunda. Nilai di masa sekarang terlihat lenbih kecil dari seharusnya. Lebih jauh deadline suatu proyek, semakin tidak menarik perhatian dan prospek untuk dikerjakan sekarang ini.

Studi telah menunjukkan bahwa kecenderungan menunda pekerjaan mirip dengan model versi fenomena ekonomi dari diskon yang tertunda. Sehingga, orang-orang yang menyebut diri 'tukang menunda' menunjukkan efek yang lebih besar. Mereka 'men-diskon' nilai keberhasilan lebih awal dibanding orang-orang kebanyakan.

Salah satu cara untuk meningkatkan nilai pekerjaan adalah untuk membuat garis finis terlihat lebih dekat. Contohnya, coba bayangkan secara jelas hadiah yang Anda terima di masa depan bisa mengurangi efek diskon yang tertunda.

4 dari 5 halaman

Semua butuh usaha

Semua butuh usaha

Menyelesaikan proyek bisa berkurang nilainya karena 'diskon yang tertunda'. Namun faktor lainnya adalah, usaha dalam mengerjakannya.

Riset mendukung ide bahwa usaha dalam pekerjaan memiliki nilai intrik yang besar. Inilah yang menjadi alasan sebagian besar orang untuk lebih memilih mengerjakan tugas mudah dibanding yang sulit.

Prediksinya jadi menarik. Semakin sulit sebuah pekerjaan, semakin besar keinginan seseorang untuk menundanya. Karena, usaha yang diperlukan lebih banyak, dan besar kemungkinan mereka akan mengalihkan usaha tersebut pada pekerjaan lainnya --fenomena ini secara ekonomi disebut 'nilai kesempatan'. Fenomena inilah membuat kerja keras terasa seperti sesuatu yang merugikan.

Sedangkan sebuah studi lainnya menunjukkan bahwa kita cenderung lebih sering menunda pekerjaan yang tidak menyenangkan-- tidak mengejutkan.
Sarannya, coba kurangi kesulitan dalam mengerjakan sebuah proyek, contohnya dengan memmisahkan pekerjaan menjadi beberapa bagianagar lebih mudah diatasi.

5 dari 5 halaman

Pekerjaan Anda, identitas Anda

Pekerjaan Anda, identitas Anda

Menunda pekerjaan adalah efek samping dari cara kita menghargai tugas. Ini menjadikan keberhasilan dalam menyelesaikan sesuatu menjadi tentang motivasi, bukan mengenai kemampuan dan keterampilan.

Dengan kata lain, Anda bisa saja mahir dalam sesuatu-- seperti memasak, atau menulis. Namun, jika Anda tidak memiliki motivasi, atau anggapan kepentingan untuk menyelesaikan tugas, besar kemungkinan Anda akan menundanya.

Inilah alasan penulis Robert Hanks, yang menggambarkan penundaan sebagai "kegagalan nafsu" dalam essay untuk London Review of Books.

Sumber dari 'nafsu' ini bisa menjadi sesuatu yang sulit ditelusuri. Namun, kita bisa berargumen, bahwa seperti halnya nafsu makan dan belanja, sumbernya adalah sesuatu yang dekat dalam kehidupan sehari-hari, budaya, dan diri kita.

Bagaimana meningkatkan nilai subjektif dari proyek tertentu? Cara yang efektif adalah dengan membuat koneksi antara proyek tersebut ke konsep diri Anda. Hipotesisnya, semakin dekat dengan konsep diri seseorang, nilai subjektif-nya akan lebih berarti.

Untuk alasan inilah Hanks menulis bahwa penundaan berakar dari kegagalan "mengidentifikasi diri di masa depan". Dalam kata lain, carilah target yang paling relevan dengan diri Anda. Pada akhirnya, orang-orang akan selalu termotivasi dalam menjaga konsep diri yang positif. Sehingga, target yang terkoneksi dengan dengan jati diri dan identitas seseorang memiliki nilai lebih. (Ikr/Rcy)