Liputan6.com, Yerusalem - Mamilla Mall, sebuah pusat perbelanjaan di Yerusalem yang terletak di kawasan terkenal, Â sepi pengunjung pada Rabu 14 Oktober 2015. Biasanya, berbagai jenis manusia dengan fashion mutakhir lalu lalang di pusat perbelanjaan itu.
Pada jam makan siang, Hanit Tzeti hanya melayani dua orang pelanggan membeli baju hamil tempat ia bekerja.
"Mereka datang, membeli dan lalu pergi setelahnya," katanya kepada New York Times sepert dikutip Liputan6.com, Kamis (15/10/2015). "Orang semua takut," tambahnya lagi.
Advertisement
Penduduk Israel di Yerusalem tampaknya enggan untuk menghabiskan waktu mereka di pusat keramaian setelah dua insiden penyerangan pisau oleh pemuda Palestina beberapa waktu lalu. 7 orang Israel tewas akibatnya.
Sementara itu, 12 pelaku tewas diterjang peluru polisi Israel. Beberapa orang Palestina yang tinggal di kota suci tiga kepercayaan, Muslim, Nasrani, dan Yahudi, pun tak kalah khawatirnya. Mereka takut dituduh -- atau jadi korban salah sasaran -- sebagai pelaku penyerangan.
Sebuah peraturan baru diterapkan oleh otoritas Israel, termasuk penutupan jalan, penambahan personel di tiap pintu masuk tetangga Palestina di Yerusalem Timur serta penambahan jumlah aparat.
Menteri Dalam Negeri Israel, Silvan Shalom, mengatakan dia memutuskan mencabut status kependudukan 19 orang Palestina di Yerusalem Timur yang menurut penyidikan, mereka terlibat dalam serangan terakhir. Selain itu, fasilitas hak kesehatan mereka juga dicabut.
Sayangnya, tindakan 'pencegahan' ini tidak serta merta menghentikan kekerasan. Sebuah insiden paling hangat terjadi saat seorang pemuda Palestina dengan baju militer menyerang petugas di Gerbang Damaskus, kota tua Yerusalem, pada Rabu 14 Oktober sore. Serangan itu melukai perempuan 70 tahun. Polisi melontarkan senjata namun hingga kini, tak diketahui apakah ia selamat atau tidak.
Yerusalem yang menurut Israel adalah kota yang bersatu dan damai, namun sekarang secara politik, ekonomi dan budaya terpisah.
Shaer Zeidani, tukang masak asli Palestina yang bekerja di kafe terkenal di Mamilla Mal mengatakan bahwa ia terpaksa naik taksi pulang pergi ke tempat kerja ke rumahnya.
"Sangat tidak mungkin untuk jalan atau naik bus umum," kata Zidani. "Aku terus menerus dihentikan oleh petugas. Mereka mencurigaiku," tambahnya. Ia juga menjelaskan pekerja Arab di toko-toko itu banyak yang tak masuk.
Tragedi Perang
Saat insiden tahun 2000, ketika sejumlah bom bunuh diri pemuda Palestina dari Tepi Barat menghantui Yerusalem, militer Israel membangun tembok dan pagar sepanjang Tepi Barat untuk menghentikan mereka.
Saat itu, banyak pelaku merupakan penduduk Yerusalem Timur.
Sejarahnya terjadi pada perang 1967. Israel mencaplok Yerusalem Timur dari Yordania. Hingga saat kini, dunia internasional tidak pernah mengakui bahwa wilayah itu milik Israel.
Sementara itu, Palestina meminta bahwa Yerusalem Timur sebagai ibukota negaranya saat negaranya merdeka kelak. Pun, dunia tidak mengakuinya.
Lebih dari 300 ribu penduduk Palestina di Yerusalem Timur tidak mau melamar menjadi warga negara Israel. Mereka memilih sebagai permanen residen yang memudahkan untuk bekerja dan masuk ke Israel dengan mudah.
Kota-kota sepanjang timur ini merupakan kota terpadat ketiga di Israel, serta memiliki standar hidup yang lebih baik dibanding di Tepi Barat apalagi Gaza.
Namun, menurut data yang dikeluarkan Yerusalem Institute for Israel Study, sebuah lembaga independen, 77 persen keluarga Arab hidup di bahwa garis kemiskinan standar Israeel, dibandingkan dengan 21 persen keluarga Yahudi.
Lebih dari 200 ribu Yahudi-Israel tinggal di Yerusalem Timur.
Advertisement
Blokade Yarusalem Bukan Jawaban
Pihak Israel telah menuduh kepemimpinan Palestina berpartisipasi dalam kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Di satu sisi, pihak Palestina menuduh peraturan baru Israel dalam masalah keamanan justru akan memperparah tensi.
"Yerusalem Timur adalah ibukota Palestina," kata Saeb Erekat, pejabat senior Palestine Liberation Organization, PLO kepada radio lokal. "Kalau mereka makin represif, pemuda Palestina semakin melawan," tambahnya.
Penutupan dan pengetatan wilayah ini membuat sebagian besar penduduk kesal.
"Lebih dari 50 ribu orang tinggak disini, yang berbuat kesalahan hanya segelintir, tapi mereka menghukum seluru desa," kata pria yang minta disebut Abu Anas. Ia sedang membawa anak laki-lakinya ke pusat kesehatan.
"Ini keputusan rasis yang hanya membawa kota ini penuh dengan kekerasan lainnya," tambahnya lagi.
"Percayalah, ini situasi yang menyulitkan. Semua tak nyaman," kata salah satu petugas kepolisian Israel yang tak ingin disebutkan namanya. "Ini bukan yang kami mau, aku mau. Ini bukan yang kami harus lakukan," tuturnya.
Satu-satunya bisnis yang kini melonjak tinggi di Yerusalem adalah mereka yang menjual gas air mata, semprotan merica, senjata bius dan pentungan, hingga beberapa barang ludes terjual. Yitzhak Mizrachi, pemilik toko senjata Magnum 2.525 mengatakan penjualannya naik dua kali lipat.
Menteri keamanan publik, Gilad Erdan, selain menyutujui langkah blokade, juga melonggarkan peraturan bagi warga sipil untuk memperoleh izin senjata. Beberapa warga Israel, katanya, telah membantu polisi dalam menghentikan penyerang.
Meski ketakutan melanda seluruh etnis, sebagian besar mengatakan bahwa hidup harus terus berlanjut.
"Kalau kami takut, kami kalah. Kalah oleh para pecundang, bukan kalah dari A atau B. " kata Ami Benyoun yang sedang menikmati es krim di sebuah kafe. "Aku pun cuma punya dua tangan, tak ada senjata," tambahnya lagi. (Rie/Ein)