Sukses

17-10-1968: Bom Singapura, Prajurit RI Usman-Harun Digantung

Saat kejadian, ratusan karyawan The Hongkong and Shanghai Bank, juga nasabah, sedang sibuk bertransaksi.

Liputan6.com, Jakarta - 10 Maret 1965, situasi sore hari di negeri singa mendadak kelam. Bom meledak di dalam Gedung MacDonald House, Orchard Road, Singapura. Ledakan kuat itu menggelegar, mengguncang gedung-gedung, mengoyak dinding dan tangga, serta meruntuhkan pilar bangunan.

Bahkan, semua mobil yang terparkir di halaman gedung itu juga rusak. Pun demikian dengan kantor Komisi Tinggi Australia (Australian High Commission).

"Berdasarkan pemeriksaan terhadap bangunan yang hancur, bom diketahui merupakan bahan peledak nitrogliserin dengan bobot sekitar 9-11 kilogram," demikan yang dilansir situs Singapore Infopedia.

Saat kejadian, ratusan karyawan The Hongkong and Shanghai Bank, juga nasabah, sedang sibuk bertransaksi. Akibatnya, 3 orang tewas dan 33 lainnya terluka. 2 Korban tewas di antaranya seorang sekretaris bank bernama Elizabeth Choo (36) dan asistennya, Juliet Goh (23). Sedangkan 1 korban jiwa lainnya seorang sopir bernama Mohammed Yasin bin Kesit (45).

Berdasarkan penuturan saksi mata, bom meledak dari sebuah tas travel yang berada di lantai mezzanine gedung. Hingga akhirnya terungkap pelaku berjumlah 2 orang, yang merupakan prajurit Korps Komando Operasi (KKO) -- sebutan untuk pasukan Marinir pada era Presiden Sukarno. Mereka adalah Usman Bin Hj Mohd Ali dan Harun Said.

Kedua tentara tanah air tersebut ditangkap di perairan, saat hendak melarikan diri dari Singapura, tiga hari kemudian setelah insiden berdarah itu. Mereka pun ditahan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, dalam melancarkan aksinya, Usman dan Harun menyamar berpakaian seperti warga sipil, bukan marinir. Mereka masuk ke gedung MacDonald House.

Masing-masing menaruh bahan peledak di tangga lantai mezzanine, sekitar area lift. Setelah memasang timer, mereka meninggalkan gedung sekitar pukul 15.00 dan naik bus. Bom pun meledak beberapa menit kemudian.

7 Bulan kemudian, tepatnya 20 Oktober 1965, Usman dan Harun dinyatakan hakim Pengadilan Singapura bersalah atas insiden pengeboman MacDonald House. Kasasi yang diajukan mereka ditolak Pengadilan Federal Malaysia pada 5 Oktober 1966.

Permintaan terbuka presiden kala itu, Soeharto, kepada Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew agar memberikan keringanan hukuman kepada Usman-Harun pun ditolak. Mereka kemudian digantung pada 17 Oktober 1968. Setibanya di Indonesia, jasad keduanya disambut secara besar-besaran.

Di mata Singapura, Usman dan Harun dikenal sebagai teroris. Tapi bagi Indonesia sebaliknya, Usman dan Harun merupakan pahlawan, lantaran tindakan mereka dianggap sebagai perlawanan Indonesia di bawah Presiden Sukarno, menentang penggabungan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam satu Malaysia.

Tak pelak, eksekusi mati 2 prajurit tersebut memicu kemarahan besar rakyat Indonesia. Kedutaan Besar (Kedubes) Singapura di Menteng, Jakarta dirusak massa menggunakan bambu runcing. Situasi kala itu memanas.

Hubungan mereda setelah PM Singapura Lee Kuan Yew memenuhi permintaah Presiden Soeharto, untuk menabur bunga di makam Usman dan Harun. Demikian seperti dimuat Straits Times.

Akan tetapi, hubungan Indonesia dan Singapura kembali panas pada 2014, setelah Indonesia memberikan nama "Usman-Harun" untuk KRI, Kapal Perang Republik Indonesia. Kini ketegangan itu telah mereda, meski TNI tetap memakai nama 2 prajurit tersebut untuk nama kapal.

Sejarah lain mencatat pada 17 Oktober 1933, Albert Einstein melarikan diri dari kejaran Jerman Nazi dan pindah ke Amerika Serikat.

Tanggal yang sama pada 1952 juga terjadi peristiwa besar di Jakarta. Demonstrasi massa menuntut pembubaran parlemen, yang dipicu konflik internal militer dan partai-partai yang makin meruncing, korupsi meluas, dan keadaan keamanan Indonesia yang memburuk. (Rsd/Rmn)