Liputan6.com, Kumgag Hampir 400 warga Korea Selatan tiba di Korea Utara pada Selasa 20 Oktober. Kedatangan mereka adalah untuk reuni yang telah lama ditunggu-tunggu dengan kerabat mereka yang terpisah sejak Perang Korea.
Sebuah bus besar dan empat mobil sedan hitam berbendera Palang Merah memuat keluarga dari penginapan di kota pelabuhan Sockho yang dikelilingi penjagaan militer ketat. Rombongan itu lalu menuju Korea Utara, penginapan Gunung Kumgang, lokasi reuni keluarga yang rencananya berlangsung selama tiga hari dimulai.
Baca Juga
Ini adalah reuni ke-2 sejak reuni yang terjadi pada Februari 2014. Pertemuan keluarga tersebut adalah hasil dari perjanjian dua Korea yang terjadi pada Agustus lalu saat mereka memulihkan tensi yang sempat meninggi yang nyaris membawa mereka ke konflik persenjataan. Baca: Isak Tangis Mewarnai Reuni Dua Warga Korea
Advertisement
Kebanyakan para keluarga yang bertemu sudah berusia lanjut sekitar 80 hingga 90-an tahun. Kedua keluarga ini terpisah karena perang saudara Korea. Banyak di antara mereka tak bisa kembali ke kampung halamannya. Pun saat berperang, mereka tak sempat membawa barang atau foto keluarga yang telah mereka tinggalkan.
Seperti yang dialami Lee Taek-gu. Pria 89 tahun ini rencananya akan bertemu dengan adik perempuannya yang berusia 20 tahun lebih muda. Terakhir kali ia melihatnya, sang adik masih sangat kecil dan dia adalah pemuda yang dikirim ke Selatan dengan kapal untuk berperang. Ia optimistis, ketika perang berakhir kelak, Lee akan pulang.
Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Semenjak saat itu, ia menuliskan surat-surat kerinduannya kepada orang tuanya, meski ia tahu, surat itu tak pernah terkirim karena tidak ada jasa pos antara Selatan dan Utara. Lee menulis hanya untuk terapi atas kedukaannya.
Kepada BBC, Rabu (21/10/2015), ia bersyukur bahwa sang adik masih hidup. Rencananya, ia akan menanyakan keadaan orang tua mereka yang telah tiada. Lee membawa baju dan jaket terbaiknya serta topi baru.
Seorang yang akan bertemu keluarga lainnya adalah Kim Wu-jong. Pria berusia 87 tahun ini meninggalkan istri dan anak perempuannya di Utara saat perang. Kondisinya begitu miskin, tinggal di sebuah apartemen kecil di Seoul. Sudah beberapa tahun ini, ia lumpuh tak bisa jalan.
"Aku jelas tak bisa membayangkan, bagaimana rupa anak perempuanku yang kupanggil 'bunga dan putri cantik'. aku meninggalkannya saat ia kecil," tutur Kim.
"Aku jelas tak bisa menggambarkan betapa bahagianya diriku. Jelas ini lebih baik daripada sekadar memenangkan lotere." ujarnya.
Reuni Penuh Air Mata
Salah satu kelompok yang tiba terlebih dahulu di lokasi reuni adalah pasangan Lee Soon-kyu dan Oh In-se baru menikah tujuh bulan dan Lee mengandung 5 bulan saat perang pecah. Mereka saling berpelukan layaknya pengantin baru.
Oh yang kini berusia 83 tahun harus turut berperang. Ia angkat senjata menuju Utara dan tak bisa kembali lagi ke istrinya. Pasangan ini tidak pernah saling bertemu lagi sampai Oh, yang sekarang penuh kerutan muncul dengan topi fedora hitamnya, seperti dilansir dari NYTimes, Rabu (21/10/215).
"Aku tak bisa mengatakan betapa aku merindukanmu," kata Lee yang tak pernah menikah lagi dan memutuskan untuk membesarkan anak laki-lakinya sendiri.
"Aku terus-menerus menangis, memikirkan kita, hingga air mata ini habis."
Oh yang memegang tangan Lee tak kalah harunya. "Sayangku, aku tak menyangka perang begitu kejamnya pada kita,"
Lee turut membawa serta sang putra, Oh Jang-gyun, yang kini berusia 64 tahun, dan turut menyaksikan pertemuan haru kedua orang tuanya.
Lee yang pernah bermimpi kehadiran suaminya pada 1978, akhirnya berhenti berharap suaminya masih hidup. Sejak saat itu, ia selalu melakukan ritual arwah tiap tahunnya.
Ia mendapat kejutan September lalu bahwa sang suami masih hidup dan mencarinya. Meski pertemuan ini begitu mereka nanti-nantikan, mereka harus menelan pil pahit. Reuni hanya dibatasi 12 jam tiap harinya hingga Kamis 22 Oktober mendatang.
Berbeda dengan pasangan Lee dan Oh, pasangan lainnya Lee Ok-yeon menolak memegang tangan suami yang hilang di Utara, Chae Hoon-shik. Lee Ok mengatakan pertemuan ini tak berguna setelah perpisahan yang begitu panjang.
Namun, sang putra Hee-yang memeluk ayahnya sambil menangis.
"Ayah, ini aku, anak laki-lakimu," kata Hee-yang sambil menangis di pelukan laki-laki sepuh itu, menurut saksi mata yang menyaksikan reuni penuh drama dan air mata.
Reuni terbatas ini benar-benar menguras air mata. Lebih dari enam dekade, mereka dilarang untuk berkirim surat, saling telepon atau kirim surel. Kedua pemerintah hanya membolehkan pertemuan yang diatur.
Korsel adalah pihak yang meminta Korut untuk mengadakan lebih banyak reuni. Reuni terakhir terjadi pada Februari tahun lalu.
Namun, akibat dari fluktuasi hubungan politik kedua negara, reuni ini begitu terbatas dan waktu pertemuannya pun tak terjadwal.
Selama reuni berlangsung pun, mereka dimonitor. Peraturan tentang topik apa yang mereka perbincangkan dengan keluarga juga diatur. Orang-orang dari Korsel telah diwanti-wanti Palang Merah, pertemuan diawasi ketat oleh Pyongyang.
Mereka dilarang berbicara politik. Para warga Korsel juga diharapkan membawa hadiah, seperti, uang misalnya, jam tangan yang tidak mahal, baju dingin, pasta gigi, gula atau vitamin.
Meski topik politik dilarang, tetap saja tak terhindarkan. Reuni tahun lalu, keluarga dari Selatan kecewa bahwa keluarga mereka di Utara tetap berbicara politik dengan memuji-muji pemimpinnya. (Rie/Ein)*
Â
Â
Â
Advertisement