Sukses

Berlian Bukan Barang Langka?

Berlian, yang selama ini merupakan batu mulia dan mahal, ternyata proses terjadinya tidak selangka yang kita kira.

Liputan6.com, Washington DC - Berlian selalu diasosiasikan dengan mahal dan mewah. Bagi kaum pria, membelikan perhiasan bertahtakan berlian untuk kekasih atau istri mereka menjadi pertanda kekayaan.

Hal itu mengesankan bahwa berlian merupakan permata langka. Namun sesungguhnya, tidak sepenuhnya benar.
Dikutip Science Daily, Minggu (8/11/2015), menurut penemuan dari Universitas Johns Hopkins, berlian tidak selangka yang selama ini kita bayangkan.

"Formasi berlian di dalam tanah, bagian tanah yang sangat dalam, bisa jadi lebih umum daripada yang kita pikirkan," tutur Dimitri A. Sverjensky, geokimia dari Johns Hopkins. Artikel yang ditulis Sverjensky bersama murid doktoral Fang Huang diterbitkan dalam jurnal online Nature Communications. Laporan 'merupakan teori kuantitatif baru dalam pembentukan berlian'. Namun, bukan berarti Anda serta merta bisa dengan mudah menemukan berlian dan membawanya ke pasar, lalu pulang dengan uang bejibun.

Keberadaan berlian di permukaan tanah memang tidak sedikit, namun, bisa atau tidaknya diambil tergantung pada beberapa hal. Salah satunya, ada atau tidaknya erupsi magma vulkanik pada kedalaman tempat berlian. Lainnya, berlian yang disebutkan dalam studi bukan hanya jenis berlian yang digunakan untuk perhiasan, kecuali ketika menghadiahkannya, dilengkapi dengan mikroskop.

Dengan kata lain, tidak semua jenis berlian dianggap 'mulia'.

Menggunakan model bahan kimia, Sverjensky dan Huang menemukan bahwa batu mulia tersebut bisa jadi terbentuk dalam reaksi kimia alami yang lebih sederhana dari dua proses utama, yang sampai sekarang dipercaya sebagai pembentukan berlian. Secara spesifik, model tersebut, yang baru akan diuji dengan material sungguhan, menunjukkan bahwa berlian terbentuk dengan meningkatnya tingkat keasaman dalam interaksi antara air dan batu.

Pemahaman umum hingga kini adalah bahwa berlian terbentuk dalam pergerakan cairan dengan oksidasi methane atau berkurangnya bahan kimia dari karbon dioksisa. Oksidasi menghasilkan keadaan oksidasi yang lebih tinggi, atau meningkatnya elektron. Reduksi artinya keasaan oksidasi lebih rendah, dan kedua proses disebut reaksi 'redox'.

"Selalu sulit menjelaskan mengapa terjadi redox," ungkap Sverjensky, yang juga dosen di Departemen Ilmu Bumi dan Planet di Morton K. Blaustein. Reaksi membutuhkan tipe cairan berbeda yang bisa bergerak menembus batu, sampai ke lingkungan yang memiliki keadaan oksidasi berbeda.

Riset terbaru menunjukkan bahwa air bisa memproduksi berlian karena tingkat keasaman (pH) yang jatuh secara alami, sehingga menjadi lebih asam selagi berpindah dari satu batu ke lainnya.

Penemuan ini merupakan satu dari berbagai penemuan selama 25 tahun, yang memberi pencerahan mengenai sifat berlian yang mudah berubah bentuk.

"Semakin banyak orang yang mencari, lebih mudah menemukan berlian di tipe batu berbeda," ungkap Sverjensky. "Saya berpikir semua akan setuju bahwa lebih banyak dan semakin banyak lingkungan tempat ditemukannya formasi berlian."

Tidak ada lagi yang mengungkapkan jumlah ketersediaan berlian yang lebih banyak, namun menurut Sverjensky ilmuwan saat ini terus bekerja dengan model kimia.

Tidak memungkinkan untuk secara fisik mengeksplor kedalaman dimana berlian tercipta--kurang lebih 90 sampai 120 mil di bawah permukaan tanah, dengan tekanan kuat dan temperatur mencapai 1.650 sampai 2000 derajat fahrenheit (900 sampai 1100 derajat celcius).

Sedangkan, untuk saat ini, eksplorasi bawah tanah terdalam yang pernah dilakukan adalah 8 sampai 9 mil di bawah permukaan. (Ikr)