Liputan6.com, Jakarta Antrian panjang. Wajah ceria anak-anak namun gelisah menunggu di antrian. Tak sabar menanti pertunjukan sirkus yang menghibur. Mereka pun bersorak tatkala para badut beratraksi. Para pemain lompat tali menunjukkan aksi liarnya.
Dan, yang membuat para penonton gembira tak lain adalah pertunjukan hewan.. sang bintang sirkus.
Di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, pertunjukan-pertunjukan yang menggunakan hewan sebagai ‘bintang’ memang menyedot perhatian dan, tentu saja, pemasukan bagi penyelenggara. Tapi, keuntungan finansial bagi manusia malah menjadi kerugian luar biasa bagi sang ‘bintang’.
Advertisement
Tak seindah film 'Madagascar'.
Merujuk kepada laman PETA pada Kamis (12/11/2015), dijelaskan bahwa hewan-hewan bukan pelakon ataupun badut sirkus. Ribuan hewan itu dipaksa melakukan trik-trik konyol dan rumit di bawah ancaman atau hukuman badan.
Mereka dikerangkeng dalam kandang yang sempit dan padat. Atau dirantai dalam suasana sepi menyendiri dan jorok. Dan hewan-hewan itu berada jauh dari teman dan kerabatnya. Semua demi ‘hiburan’ manusia.
Beruang, gajah, harimau, monyet, dan sejumlah hewan lain tidak secara sukarela menaiki sepeda, melakukan keseimbangan di atas bola, ataupun melompati cincin api.
Mereka melakukan itu semua melalui ‘latihan’ yang menggunakan cambuk, kekang leher, alat aliran listrik, cocok hidung, dan sejumlah alat menyakitkan lainnya.
Hewan bukanlah mahluk tanpa perasaan. Ketika mencapai titik jenuhnya, hewan tersebut bisa saja ‘meledak’ dan biasanya berakhir tragis terhadap hewan pertunjukan tersebut. Dan muramnya nasib sang ‘bintang’ terjadi di belahan dunia manapun. Berikut adalah kisah hewan-hewan bintang penghibur yang beakhir tragis...
Tyke, Gajah Yang Muak
Pada tahun 1994, seekor gajah bernama Tyke mengamuk. Setelah jenuh berurusan dengan pukulan dan rantai, sang gajah mengamuk. Dan ketika mengamuk, pelatihpun tidak bisa melindungi dirinya. Apalagi masyarakat luas.
Dikutip dari tulisan lawas Huffington Post pada Kamis (12/11/2015), gajah Afrika berusia 20 tahun itu mengamuk di Honolulu.
Pada saat itu, sang gajah betina sedang berkeliling bersama dengan Circus International. Pada 20 Agustus 1994, selagi pertunjukan berlangsung, Tyke memasuki arena dan menendangi seseorang. Pada awalnya, hal itu dikira sebagai bagian pertunjukan.
Setelah melihat orang itu—sang pelatih—cedera berat, orang-orangpun menyadari bahwa ini bukan bercanda. Selama hampir 30 menit, Tyke berlarian di jalanan di kawasan bisnis Kakaako di saat jam sibuk. Tyke akhirnya ditembak 87 kali oleh polisi sebelum ia lunglai karena kerusakan syaraf dan pendarahan otak. Mati mengenaskan.
Advertisement
Paus Yang Didukung Petisi
Selain gajah, paus juga termasuk hewan yang menjadi ‘bintang’ pertunjukan. Misalnya di SeaWorld di kota San Diego di California.
Dikutip dari The Guardian pada Kamis (12/11/2015), seorang CEO di SeaWorld tersebut mengumumkan akan menghentikan pertunjukan menggunakan paus pembunuh (orca) sebelum 2017 setelah adanya badai protes akibat terbitnya film dokumenter Blackfish.
Joel Manby, sang CEO, mengatakan bahwa ia mendengarkan kritikan para pengunjung pertunjukan Shamu dan akan mengganti pertunjukan Californian Shamu—menyelam, lompat, dan menepuk air ke arah pengunjung dengan menggukan ekornya—dengan jenis pertunjukanyang lebih alamiah bagi sang paus.
Menurutnya, keputusan tersebut berkaitan langsung dengan tanggapan para pengunjung. Menurut pemerinth kota, angka kunjungan menurun 17% pada tahun lalu menuju angka 3,8 juta dan masih menurun. Ini berdampak $10 juta pada keuntungan SeaWorld untuk tahun ini.
Namun demikian, pertunjukan teatrikal orca akan terus berlangsung di San Antonio di Texas dan Orlando, Florida.
Menurut PETA, berakhirnya pertunjukan Shamu “tidak dapat dihindari namun perlu”. Tapi “tindakan ini mirip dengan berhentinya memecut singa pertunjukan walaupun tetap mengurungnya dalam kandang seumur hidupnya.”
Di lain pihak, SeaWorld memandang film dokumenter Blackfish sebagai propaganda dan bersifat manipulatif. Mereka bahkan sempat menyusupkan pegawainya untuk menjadi bagian dari PETA dan ‘mengintip’ ke dalam.
Sirkus Keliling Lumba-lumba
Selain paus di California, penderitaan mamalia laut yang menjadi 'bintang' pertunjukan juga terjadi di Indonesia.
Menurut laporan Animal Equality pada 2012 yang dikutip pada Kamis (12/11/2015), Indonesia merupakan negeri terakhir di dunia ini yang masih menggunakan lumba-lumba sebagai bagian dari sirkus keliling.
Pada saat laporan itu, ada 12 ekor lumba-lumba yang dikurung dalam kolam-kolam plastik yang hanya sedikit lebih besar dari tubuh lumba-lumba.
Hewan-hewan itu dibawa berkeliling ke kota-kota di pulau Jawa ditengarai menimbulkan stress pada hewan yang cerdas dan peka tersebut. Banyak yang mati.
Kelompok Jakarta Animal Aid Network (JAAN) telah melakukan kampanye sejak 2009 untuk penutupan sirkus keliling demikian setelah mendapati bukti kematian sejumlah lumba-lumba.
Para pemilik sirkus kerap melontarkan ancaman kepada para aktivis. Sejumlah pelaku yang disebutkan namanya pada saat itu adalah Wersut Seguni Indonesia (WSI), Taman Safari Indonesia dan Ancol.
WSI pada saat itu memiliki tempat penampungan lumba-lumba untuk menggantikan hewan yang mati. Pihak pengelola juga menjual lumba-lumba ke sejumlah badan komersil lain di seluruh Indonesia. Penyidikan membuktikan bahwa hewan-hewan tersebut ditangkap dari laut lepas.
Advertisement
Topeng Monyet
Selain hewan dalam air, hewan hutan pun tidak luput dari derita menjadi ‘bintang’ pertujukan.
Dalam tulisan Daily Mail yang dikutip pada Kamis (12/11/2015), monyet-monyet macaque di Indonesia dipaksa menyuguhkan pertunjukan sambil dirantai dan dipakaikan baju-baju berhias. Topeng monyet.
Selain mengenakan pakaian yang aneh dan topeng, hewan berbuntut panjang inipun dipaksa menaiki sepeda dan menunggangi kuda mainan.
Pemilik ‘bintang’ itu—sang manajer pertunjukan—kemudian berkeliling meminta uang kepada para penonton pertunjukan. Nyatanya, hewan-hewan itu dikerangkeng dalam kandang yang kecil dan menjalani latihan yang penuh penderitaan.
Beberapa pelatih bahkan sengaja menggantung monyet itu secara terbalik atau mengikat tangan-tangannya di belakang, dan bahkan memaksa monyet itu untuk berjalan secara tegak.
Seorang pelatih bernama Cecep menceritakan kepada harian setempat bahwa sekitar setengah dari jumlah hewan yang dilatihnya mati dalam masa pelatihan.
Katanya, “Terkadang saya iba dengan monyet-monyet itu, tapi hidup di Jakarta memang keras.” Miris.
Cholita, Stress Hingga Botak
Tapi untunglah tidak semua hewan ‘bintang’ pertunjukan harus menuju akhir hidup yang tragis. Seperti misalnya beruang langka di Peru ini.
Beruang berusia 25 tahun bernama Cholita ini menghabiskan hampir seluruh hidupnya bersama suatu sirkus Peru dan tinggal di dalam kandang yang sempit dengan penderitaan yang berkelanjuntan.
Dikutip dari The Dodo pada Kamis (12/11/2015), hewan itu disita dari pihak sirkus pada pertengahan 2005 dan tinggal di kebun binatang di Peru.
Pada Maret lalu, Jan Creamer, presiden Animal Defenders International (ADI) tidak sengaja bertemu dengan beruang yang ringkih itu di kebun binatang. Pihak kebun binatang meminta mencarikan rumah baru bagi Cholita. Akhirnya Cholita dibawa ke fasilitas ADI di kota Lima pada April 2015.
Walaupun melegakan, sisa-sisa penyiksaan menetap pada tubuh beruang itu. Beruang itu mengalami pembotakan karena stress. Jari-jarinya pun ada yang sudah dipotong karena ada cakarnya.
Untunglah kepribadian hangatnya kembali mencuat dan ia mampu berinteraksi dalam kehangatan dengan perawatnya. (Alx/Rie)
Advertisement