Liputan6.com, Warwick - Kismis kini tak hanya sekedar anggur kering pelengkap kue. Periset meng-klaim, ada cara mengukur kecerdasan seorang anak di masa depan, dengan menggunakan kismis.
Penelitian ini dibanggakan, karena "bisa menjadi tes paling sederhana mengenai kecerdasan anak yang pernah ditemukan".
Dilaporkan Telegraph, Jumat (20/11/2015), penelitian dari University of Warwick ini melibatkan ratusan anak-anak berusia di bawah 20 bulan, dan mengetes mereka, dengan meletakkan sebuah kismis di bawah cangkir. Anak-anak ini disuruh menunggu, hingga waktunya mereka bisa makan kismis itu.
Advertisement
Terdengar mudah bukan? Namun bagi anak-anak usia dini, ini bisa menjadi sangat sulit. Pada saat riset selesai, periset menemukan, para anak yang berhasil menahan diri untuk makan kismis memiliki IQ tujuh poin lebih tinggi saat usia 8 tahun, dibanding anak-anak yang langsung makan.
Periset mengungkapkan permainan ini dapat menguji perhatian dan kapasitas belajar anak. Tes juga bisa dilakukan dengan cokelat, permen, dan camilan kecil lainnya.
Sementara itu, sekelompok peneliti dari University of Warwick secara spesifik tertarik ingin menggunakan permainan ini untuk mencari tahu kesulitan belajar pada anak-anak yang lahir prematur.
Profesor Dieter Wolker, yang berbasis di Department of Psychology dan di Warwick Medical School menyatakan, permainan kismis ini alat yang mudah dan efektif untuk menilai hambatan kendali diri pada anak-anak. Hanya memerlukan hanya lima menit, dan bisa digunakan dalam praktik klinikal untuk mengindentifikasi anak-anak yang beresiko bermasalah dalam perhatian dan belajar.
"Kendali diri yang lebih baik pada usia 20 bulan memprediksi perhatian yang lebih baik dan pencapaian akademik pada usia 8 tahun.
Tes ini mirp tes Stanford Marshmallow yang dikembangkan era 60-an-- dengan mengukur gratifikasi yang tertunda. Anak-anak ditawarkan pilihan antara satu hadiah langsung, atau dua hadiah jika mereka menunggu selama 15 menit. Studi lanjutan juga menunjukkan anak-anak yang menunggu akan lebih sukses di masa depan.
Ketika ditanya jika orangtua bisa mencoba tes pada anak-anak di rumah, Profesor Wolke menjawab: "Hasil bisa berbeda jika orangtua atau wali yang menguji.
"Namun, jika anak tidak biasa mengendalikan respon spontan mereka, orangtua bisa bertindak dengan menjelaskan bahwa mereka tidak boleh mengganggu, namun menunggu dalam waktu singkat."
Semua anak peserta studi masuk ke Bavarian Longitudinal Study, yang dimulai di Jerman tahun 1985, dan masih berlangsung hingga kini. (Ikr/Rcy)