Liputan6.com, Bendigo - Ketenangan Bendigo di negara bagian Victoria, Australia, terkoyak akibat protes Agustus lalu. Sejumlah demonstran mempertontonkan kekerasan dengan merusak barikade polisi, melayangkan tinju, dan melemparkan molotov dalam aksi menentang pendirian masjid di kota mereka.
Kelompok ultra sayap kanan United Patriots Front (UPF) bahkan menjadikan Bendigo sebagai lokasi protes kedua pada Oktober 2015 lalu. Demonstrasi anti-masjid juga digelar di sejumlah kota di negara bagian Victoria dan New South Wales.
Saat itulah Margot Spalding muncul. Perempuan pebisnis itu menggelar aksi tandingan, memimpin perjuangan melawan 'intoleransi dan kebencian' di Bendigo.
Ia ingin mengembalikan nama baik kotanya. "Reputasi Bendigo hancur. Lekat dengan imej demo mengandung kekerasan," kata dia seperti dikutip dari News.com.au.
Ia mengatakan, demonstrasi anti-masjid harus dihentikan, sebelum itu menyebar ke seluruh Negeri Kanguru.
"Saya sungguh yakin bahwa protes anti-masjid bisa dihentikan dari sini, dari Bendigo," kata perempuan yang pernah mendapat gelar Telstra Business Woman of the Year itu kepada Australian Story, seperti dikutip dari ABC.net.au, Senin (23/11/2015).
Baca Juga
Menyusul protes anti-masjid Agustus lalu, Spalding mengumpulkan sejumlah tokoh masyarakat, pebisnis, dan pemuka agama. Dari pertemuan tersebut muncullah gagasan kampanye 'Believe in Bendigo'.
"Orang-orang yang datang dari luar ke Bendigo dan menggelar protes menentang pendirian masjid di sini membuat warga heran," kata Pendeta John Roundhill, Dean dari Gereja Anglikan Bendigo.
"Masyarakat sama sekali tak mengharapkan ekspresi kemarahan dan kebencian seperti yang kami saksikan hari itu."
Kampanye Damai
Kampanye 'Believe in Bendigo' juga menggelar piknik yang dihadiri ribuan orang. Di area tempat demonstrasi sebelumnya digelar. Tak ketinggalan, program edukasi keberagaman dan makan bersama anggota masyarakat diselenggarakan.
Ada sekitar 300 warga muslim di Bendigo. Beberapa dari mereka adalah dokter, dokter gigi, perawat, pekerja pabrik, dan mahasiswa. Mereka menggelar ibadah di ruangan sempit dan sesak di kampus La Trobe University.
Pihak pemerintah City of Greater Bendigo menyetujui pembangunan masjid pada Juni tahun lalu. Namun, keputusan tersebut ditentang sekelompok kecil warga yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Sipil dan Administrasi Victoria atau Victorian Civil and Administrative Tribunal (VCAT). Hasilnya, gugatan ditolak.
Mahkamah Agung Victoria kini sedang mempertimbangkan keputusan bandingnya.
Advertisement
Awalnya, Spalding tak tahu apa gerangan pemicu penolakan dan rusuh tersebut. Apalagi, ada sejumlah masjid yang didirikan di kota tetangga, Shepparton.
Meski menerima email penuh sumpah serapah dan rumahnya harus diawasi polisi karena berpotensi diancam, Spalding memutuskan tak menyerah. Ia beranggapan adalah penting bagi Bendigo, dan wilayah lain di Australia untuk mengizinkan pendirian masjid.
Spalding bukan pemeluk agama Islam. Namun, ia mempekerjakan 3 eks pengungsi Afghanistan di pabrik furniturnya yang terkenal, Jimmy Possum. Juga membolehkan mereka beribadah di lingkungan kerjanya.
"Menurut saya, semua orang berhak beribadah di mana pun, yang nyaman bagi mereka," kata Spalding.
Ia pun mengaku, para karyawannya sudah terbiasa melihat pekerjanya, Sayed Hussaini, salat.
Sebaliknya, anggota dewan Bendigo, Helen Leach, yang menentang pendirian masjid mengatakan, "Pesan yang saya dapat dari masyarakat adalah, mereka khawatir elemen radikal bakal muncul seiring adanya masjid. Yang bisa membahayakan kehidupan mereka juga keamanan bagi kaum hawa.
Spalding menolak ide itu. "Memang ada kelompok-kelompok teroris yang berniat membahayakan orang lain. Namun, bukan seperti itu komunitas muslim yang ada di Bendigo," kata dia.
"Seperti halnya kita, mereka menolak terorisme. Mereka hanya hidup secara tenang di sini." (Ein/Yus)