Liputan6.com, London - Terkuaknya kehidupan perempuan pendukung ISISÂ di Britania Raya adalah hasil investigasi hampir 1 tahun yang dilakukan televisi Channel 4, Inggris. Salah satu wartawannya berhasil masuk ke dalam ring terdekat para perempuan pengikut organisasi teroris itu.
Berawal dari mem-follow ketiga perempuan itu di Twitter, Aisha, si reporter--bukan nama sebenarnya-- akhirnya bisa bertemu dan datang ke perkumpulan mereka di Timur London. Aisha memakai burqa layaknya mereka dan menyimpan kamera rahasia di balik bajunya itu.
Baca Juga
Dalam tiap pertemuan di sebuah apartemen di lantai 2. Ketiga perempuan bercadar hitam itu selalu mendewakan para pelaku jihad. Mereka juga mencuci otak perempuan muda Inggris, bahwa pemerintahan negara itu telah memerangi kelompoknya. Tak hanya itu, mereka juga menggunakan kata-kata yang tak pantas saat mendeskripsikan Yahudi dan Israel.
Advertisement
Dalam siarannya pada Senin 23 November 2015, salah satu perempuan pengikut ISIS itu tidak percaya hukum buatan manusia.
"Kami tidak akan melaksanakan hukum di negara, di bangsa mana pun. Satu-satunya negara yang dikaruniai Tuhan adalah Suriah. Tanah terbaik ciptaan Tuhan," kata perempuan itu.
"Di situlah, di Suriah, kita akan melihat berdirinya khilafah (negara Islam)," ucapnya lagi di depan kurang lebih 20 perempuan, seperti dilansir dari Daily Mail, Selasa 24 November 2015.
Dokumen itu bertajuk, 'ISIS: The British Women Supporters Unveiled', mengupas habis bagaimana ideologis ekstremis tersebar secara online. Tak hanya itu, mereka cekoki idelogi itu kepada remaja puteri, di depan anak-anak.
Baca Juga
Investigasi itu berakhir 1 bulan sebelum teror Paris melanda pada Jumat malam 13 November lalu yang menewaskan 130 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Ketiga perempuan itu mulai curiga kepada Aisha.
Mereka memaksa Aisha untuk membuka tasnya. Namun, untungnya, sang reporter berhasil diusir keluar tanpa luka sedikit pun.
Ketiga itu adalah Umm Saalihah, Umm L, dan Umm Usman. Nama tersebut adalah nama di akun Twitter mereka.
Ketiga perempuan itu telah dilacak menggunakan sosial media untuk menyebarkan ideologi ISIS. Awalnya, Aisha berkali-kali mengontak mereka via Twitter untuk bertemu.
Aisha juga datang ke demonstrasi mereka di luar Regents Park Mosque. Ia turut membagi-bagikan pamflet tentang ajaran Islam radikal demi mendapat kepercayaan dan simpatinya.
Akhirnya, Aisha diundang tatap muka dengan salah satu di antara mereka. Setelah benar-benar mendapatkan kepercayaannya, ia mendapatkan akses ke pertemuan khusus perempuan yang hanya bisa dihadiri apabila ada undangan.
Di salah satu ceramah tertutupnya di London Timur, Umm L mengatakan bahwa muslim yang taat adalah ekstremis. "Katanya pemerintah Inggris menghargai demokrasi, tapi kenapa mereka memanggil kita ekstremis?" kata perempuan beranak empat bernama asli Rubana itu.
"Orang-orang itulah yang melawan kita, Islam. Mereka tinggal di Downing Street Nomor 10 dan Gedung Putih," ujar Rubana.
Ia juga mengkritik pemerintahan Inggris dengan program anti-ekstremis. Menurutnya, akan lebih banyak orang --yang mereka sebut radikal-- akibat rencana itu.
Umm Saalihah juga mengagumi ulama garis keras, Omar Bakri Mohammed yang dilarang masuk Inggris dan kini ditahan di Lebanon. Sayangnya, pada suatu hari, Aisha tidak lagi dipercaya.
"Saya minta kamu buka tasmu. Saya tidak percaya sama kamu. Kamu mata-mata ya?" begitu kata Umm L yang sempat terekam oleh Aisha.
Film dokumenter itu dikepalai oleh Dispatches Editor dan kepala program Daniel Pearl. Ia mengucapkan banyak terima kasih atas kerja keras timnya.
"Dokumenter itu menguak apa yang tengah terjadi dalam gerakan bawah tanah perempuan ISIS di sini.... di London," kata Pearl.
Lebih dari 700 warga Inggris pergi ke Suriah bergabung dengan ISIS, termasuk puluhan remaja putri. Sementara itu, 450 telah kembali. Mereka yang kembali akan mengikuti program deradikalisasi.
Sehari sebelumnya, pemerintah Turki menangkap warga Inggris Waheed Ahmad dan 8 keluarganya, termasuk bayi 1 tahun di perbatasan Suriah. Mereka ditakutkan bergabung dengan ISIS.
Ahmed dan keluarganya dideportasi ke Inggris dan kini mengikuti program deradikalisasi. (Rie/Mut)*