Liputan6.com, Gurung - Desa Gurung tersembunyi di antara perbukitan pegunungan Himalaya, menjadi lokasi di mana penduduk setempat mendapatkan kebutuhan hidup secara mandiri. Mereka bercocok tanam, dan membesarkan domba untuk diambil bulunya. Sedikit diketahui, para pembangkang Maoisme ini memiliki tradisi berburu madu yang mematikan.
Sutradara Raphael Treza asal Paris bergabung dengan para penduduk dalam perburuan madu tahunan mereka.
"Tak banyak yang mereka bisa jual, selaian produk pertanian dan pakaian. Madu merupakan sumber pendapatan besar bagi mereka. Mereka menjualnya ke desa-desa di sekitar-- meski jumlahnya sangat sedikit," ungkap Treza dikutip The Plaid Zebra, Kamis (26/11/2015).
Advertisement
Pengumpul madu umumnya memakai pakaian khusus agar terhindar dari sengatan-- dalam mengumpulkan madu yang hanya membutuhkan beberapa menit. Para pemburu madu dari Gurung berupa sekelompok penantang bahaya-- karena lebah Himalaya berukuran 2,5 cm cenderung membuat sarang mereka di tebing-tebing bukit.
Tanpa rasa takut terhadap kawanan lebah di ketinggian tebing, para pemburu naik dengan perlahan meski mengetahui mereka mungkin tidak akan selamat untuk mencicipi madu yang mereka ambil.
Setiap sarang yang mereka temukan, para pemburu membangun tangga terbuat dari tali dan bambu bergantung dari atas tebing. Dengan menggunakan alat pemotong panjang buatan tangan-- mereka dengan perlahan memasukkan madu ke dalam keranjang. Semua itu dilakukan dengan hanya mengenakan busana sederhana, seperti celana pendek dan kaos.
Ketika tim menghampiri, para lebah terlihat berkerumun membentuk gelombang mengerumuni sarang sebagai peringatan. Tanpa rasa takut dan ketinggian yang memusingkan-- para pemburu hingga memanjat sampai atas, meski mengetahui mereka tak akan selamat mencicipi hasil buruan.
"Di setiap tebing, tertulis pada batu nama setiap pemburu yang tewas," ungkap Treza.
Baca Juga
Ini menjadi alasaan setiap perburuan diawali dengan ritual religius yang disebut Pujah-- meliputi kegiatan pengorbanan hewan seperti ayam-- yang sekaligus dijadikan makan siang.
"Kami melakukan ritual ini untuk menghindari permasalahan, kecelakaan dan nasib buruk. Kami memanggil roh hutan, karena dia memiliki jiwa spiritual dan kami tak ingin menyinggungnya. Ketika memburu madu, para lebah tidak menyerah begitu saja. Ini menjadi pertarungan sesungguhnya."
Kershing yang sudah berburu madu selama 40 mengatakan kepada Raphael, "Kami membuat seserahan ini agar dilindungi dan tidak ada yang jatuh."
Panen biasa dilakukan pada musim semi dan gugur, ketika madu lebih banyak. Namun, pariwisata yang tertarik dengan perburuan tengah mengancam masa depan tradisi ini. Beruntung, desa Gurung dan lokasi perburuan mereka tersembunyi-- berbeda dari madu yang ditemukan di tempat yang lebih rendah.
"Madu di pegunungan tinggi lebih terasa karena mengandung alkohol khusus (diterpenic alcohol) yang lebih efisien di ketinggian. Sama seperti minum alkohol saat pergi main ski," ungkap Treza.
Efek membuat mabuk dari madu merupakan hasil dari produksi nektar, yang mengandung grayanotoxin, dan ditemukan di rhododendron, bunga yang hanya tumbuh di beberapa negara dengan lokasi pegunungan.
Jika madu dikonsumsi lebih dari satu sendok teh, akan jadi melemahkan, bahkan mematikan. Pada Turki era modern, dimana proses lebih pada industri rumahan, madu dicampur dengan alkohol. Namun pada era kuno, madu dikenal sebagai "madu gila" dan digunakan sebagai senjata.
Saat jenderal Roma Pompey menjajah Turki pada 67 Sebelum Masehi, tentaranya menemukan jalanan dengan sarang madu berbaris. Mengira tak bahaya, mereka menikmati madu dan datang ke medan perang dalam kondisi mabuk. Mereka tak sanggup berdiri, terlebih lagi bertarung.
Gejala keracunan madu termasuk halusinasi, detak jantung tak beraturan, kehilangan keseimbangan, kelelahan, keringat berlebihan, mual, dan muntah-muntah-- dalam beberapa kasus bahkan berakhir dengan fatal.
Sedangkan, pada suku, madu juga menjadi obat dengan kegunaan rekreasional, yakni obat kuat. (Ikr/Rcy)