Liputan6.com, Paris - Hari ini, Senin (30/11/2015), adalah sebuah hari bersejarah bagi konferensi perubahan iklim. Lebih dari 40.000 orang hadir di Paris, serta lebih dari 100 kepala pemerintahan turut berpartisipasi.
Mereka akan menjadi bagian sejarah dari konferensi PBB untuk perubahan iklim selama dua minggu di Paris. Kota yang sebelumnya diserang oleh serangkaian teror yang menewaskan 130 orang pada Jumat malam 13 November 2015.
Baca Juga
Di Paris, para negosiator akan hadir dalam pertemuan yang secara formal dikenal dengan 21st Conference of Parties (COP 21) untuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Mereka diharapkan dapat meloloskan perjanjian internasional penting seperti mengurangi gas emisi rumah kaca secara global dan memperlambat efek dari perubahan iklim.
Advertisement
Apa yang membuat pertemuan kali ini begitu istimewa. Berikut adalah penjelasannya, seperti Liputan6.com lansir dari Time, pada Senin, (30/11/2015).
Lebih Optimis
Ini bukan kali pertama COP diadakan, pada beberapa pertemuan perubahan iklim yang lalu, para pemimpin KTT perubahan iklim di masa lalu mencoba untuk membangun kesepakatan iklim top-down -- di mana negara-negara akan setuju menyepakati pedoman mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Perjanjian lahir dari pendekatan seperti Protokol Kyoto 1997, yang diperlukan negara-negara berkomitmen untuk mengikat pengurangan gas rumah kaca, dikembangkan agar bisa memberi target fleksibilitas dalam mengatasi perubahan iklim.
Namun, beberapa negara, seperti Amerika Serikat, memilih untuk tidak berpartisipasi dalam perjanjian tersebut. Lainnya, seperti Kanada, meratifikasinya, tetapi akhirnya mengabaikan ketentuan-ketentuannya.
Pendukung perubahan iklim mengatur sebuah konferensi pada 2009 di Denmark sebagai kesempatan untuk mencapai perjanjian komprehensif yang akan benar-benar mengarah pada pengurangan emisi. Tapi sayangnya konferensi itu terorganisir sacara buruk. China dan negara-negara lain menolak untuk bekerja sama. Pada akhirnya, negosiasi runtuh dan mengakibatkan Copenhagen Accord gagal.
Konferensi Paris kali ini akan berfokus pada kesepakatan bottom-up. Pemerintah di seluruh dunia telah membuat rencana masing-masing yang disebut Intended Nationally Determined Contributions (INDC) -- menjabarkan bagaimana mereka berencana untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai politik dan ekonomi masing-masing negara.
Nantinya, di pertemuan COP 21 akan ada Perjanjian Paris yang hanya memberikan kerangka hukum untuk memverifikasi bahwa negara tersebut komitmen untuk mengurangi emisi dan menyediakan pendanaan iklim bagi negara-negara miskin.
Sebuah pendekatan bottom-up mungkin terdengar kurang ambisius dari standar internasional yang kaku. Tapi para negosiator perubahan iklim berharap fleksibilitas memungkinkan setiap negara dapat membuat komitmen mereka sendiri. 'Insiden' menghindarnya negara-negara maju di Protokol Kyoto diharapkan tidak akan terulang.
COP Paris tersebut digelar karena para ilmuwan mengatakan perubahan iklim telah merusak lebih besar dari sebelumnya. Suhu rata-rata mencapai rekor tinggi pada 2014, dan PBB menegaskan bahwa 2015 mungkin akan menjadi rekor terpanas.
Dalam menghadapi realitas tesebut, negara-negara seperti Amerika Serikat, China dan Kanada telah menunjukkan minat yang baru dalam mengatasi perubahan iklim. Bahkan produsen minyak negara-negara seperti Arab Saudi, yang kini tengah menghadapi suhu panas, telah mengajukan rencana untuk mengatasi pemanasan global
"Ada suara-suara yang luar biasa bahwa kita bisa mendapatkan perjanjian ambisius di Paris," kata Direktur Strategi dan Kebijakan di Union of Concerned Scientists, Alden Meyer, setelah China mengumumkan program cap-and-trade awal tahun ini.
"Tapi pekerjaan belum selesai," tambahnya lagi.
Advertisement
Isu Kunci
Kebanyakan negosiator melihat keuangan sebagai titik mencuat yang bisa membuat perjanjian kuat. Negara-negara maju sepakat pada 2009 membiayai proyek-proyek mengatasi perubahan iklim di negara-negara berkembang sebesar US$ 100 miliar per tahun, dimulai pada tahun 2020. Sementara uang mengalir ke pundi-pundi dari Green Climate Fund yang didirikan untuk tujuan itu, masih jauh dari cukup untuk mendukung US$ 100 miliar komitmen satu tahun.
Tak hanya itu, banyak kritikus yang skeptis bahwa negara-negara kaya akan memenuhi tujuan itu.
Sementara itu, banyak negara-negara berkembang telah mengatakan mereka tidak akan mampu untuk menindaklanjuti rencana iklim mereka sendiri tanpa menerima bantuan dana.
Cara mengatasi proses beradaptasi atas dampak perubahan iklim juga akan menjadi titik kunci perdebatan.
Banyak dari negara-negara berkembang yang paling rentan di dunia, termasuk negara-negara pulau bisa terhapus dari peta akibat kenaikan permukaan laut, ingin tahu bahwa masyarakat internasional akan mendukung upaya untuk melindungi tanah mereka dari naiknya level air laut yang akan terjadi bahkan jika dunia tidak berhasil memperlambat laju pemanasan global.
"Diskusi cenderung dibajak oleh kekhawatiran mitigasi,. Adaptasi semakin menjadi perhatian dan kebutuhan, tidak hanya dalam waktu mendatang, tapi hari ini," ujar Direktur Kebijakan Iklim di Conservation International, Shyla Raghav.
Usaha Membuat Konferensi Paris Sukses
Pada tahun 2010, KTT Perubahan Iklim meresmikan angka 2 derajat Celcius (3,6 F) sebagai target maksimum kenaikan suhu global tahun 2100, tingkat yang paling ilmuwan percaya akan membantu mencegah efek yang paling merusak dari pemanasan global.
Masalahnya, suhu sudah naik sekitar 1 derajat Celcius di atas tingkat rata-rata menurut Badan Meteorologi Inggris.
Kenaikan suhu global di masa pra-industri diharapkan mencapai 4 derajat Celcius (9 F) pada akhir abad ini, kecuali langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Terlebih menurut sebuah penelitian, negara-negara termasuk AS telah membuat suhu bumi memanas hingga di ambang batas yaitu 2 derajat Celcius.
Di COP Paris kali ini, para ahli berharap AS mengurangi kenaikan suhu tersebut dan memperkuat komitmen tiap 5 tahun sekali.
Namun, banyak negara yang terkena dampak perubahan iklim merasa skeptis negara-negara besar penyumbang emisi dapat mengurangi kenaikan panas bumi. Oleh karena itu, negara-negara terdampak meminta negara besar itu mengurangi pemakaian bahan bakar fosil.
Advertisement
Peran AS di Paris
Presiden Barack Obama telah berupaya untuk memposisikan AS sebagai pemimpin global pada iklim. Ia berharap dapat mengembalikan tahun-tahun di mana pemimpin terdahulunya tidak percaya apa itu perubahan iklim.
Di AS, Obama telah mendorong penurunan emisi gas rumah kaca. Seperti program Clean Power Plan, yang meminta untuk mengurangi 32 persen emisi karbon dari pembangkit listrik seantero AS dari 2005 hingga 2030.
Di tingkat internasional, Obama telah mendaftarkan negaranya untuk menandatangani sejumlah perjanjian iklim bilateral, termasuk komitmen bersama dengan China.
Obama berharap langkah ini -- sebuah perubahan yang tajam dari taktik penundaan pada era Bush-akan memberikan sisa kepercayaan dunia bahwa AS telah mempertimbangkan bahwa perubahan iklim adalah isu serius.
Sebagian besar negara-negara terutama China enggan untuk membuat pemotongan tanpa AS, emitor terbesar kedua di dunia.
"Ada pemahaman secara internasional, bahwa tindakan AS, adalah tindakan yang kredibel," kata Jennifer Morgan, direktur global dari program iklim pada World Resources Institute.
Sementara itu, tindakan Obama memberikan AS peran semakin meningkat dalam negosiasi iklim mendatang. Penasihat Deputi Keamanan Nasional Ben Rhodes menjelaskan bahwa peran Obama sangat kontras saat konferensi iklim di Copenhagen 6 tahun lalu, di mana ia muncul pada menit terakhir dengan harapan negosiasi mendapat sentuhan akhir berupa kesepakatan iklim yang signifikan.
Namun, upaya itu secara luas dilihat sebagai sebuah kegagalan. Obama sendiri mengaku setelah konferensi bahwa perjanjian itu "tidak cukup."
Peran China
China adalah negara terbesar di dunia sebagai emitor berusaha untuk melemahkan negosiasi di konferensi iklim masa lalu, tetapi di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping negeri itu tampaknya telah berubah.
Tiongkok telah meluncurkan program cap-and-trade secara nasional, agar dapat melacak dan mendapat laporan emisi karbon. Namun yang paling penting, berkomitmen mengurangi emisi karbon pada 2030.
Komitmen itu sangat penting dan berita baik untuk hasil pertemuan Paris nanti. Tak ada kesepakatan perubahan iklim yang berarti tanpa partisipasi China. Mengapa? Karena negara ini menghasilkan lebih dari seperempat dari emisi karbondioksida dunia. Dan banyak negara-negara yang memiliki emisi karbon besar enggan melakukan negosiasi selama China--emitor terbesar-juga enggan untuk duduk bersama.
Advertisement
Kesepakatan Bakal Mengikat?
Banyak dari isi perjanjian akan tergantung pada apakah bentuk hukumnya membuat ketentuan tersebut 'mengikat'. Sebagian besar pendukung aksi iklim 'garis kelas' melihat perjanjian mengikat diperlukan untuk memastikan bahwa negara-negara menindaklanjuti komitmen mereka.
Masalah meletus bulan ini ketika Menteri Luar Negeri AS John Kerry membingkai perjanjian iklim sebagai 'perjanjian internasional.' Kesepakatan seperti itu hampir pasti akan gagal untuk memenangkan persetujuan Senat Partai Republik dan meninggalkan AS keluar dari perjanjian.
Sebaliknya, AS sepertinya akan menganjurkan perjanjian yang mengikat tanpa label itu perjanjian formal. Masih belum jelas apakah pendekatan seperti itu akan cukup untuk menenangkan Uni Eropa dan lain-lain.
"Jika kesepakatan tidak mengikat secara hukum, tidak ada kesepakatan, karena itu berarti tidak mungkin untuk memverifikasi atau membuat komitmen kontrol," kata Presiden Prancis Francois Hollande awal bulan ini.
Perubahan Nyata dari Perjanjian Iklim?
Kendati negosiasi iklim dapat terdengar abstrak, namun perjanjian yang kuat menciptakan perkembangan yang positif saat para negosiator pulang ke negaranya masing-masing.
China, misalnya, telah berkomitmen untuk program cap-and-trade dan akan mengurangi emisi pada 2030. Sementara itu, India akan meningkatkan tutupan hutannya.
AS akan menghapus setahap demi setahap pembangkit listrik tenaga batubara. Sebuah kesepakatan iklim akan menyediakan kerangka untuk mengunci beberapa komitmen tersebut ke tempatnya dan mendorong upaya-upaya baru.
"Jika dilakukan dengan benar, ini mengatur seperangkat kebijakan dan tindakan yang akan membawa kita bagaimana kelak merancang kota, mengubah cara berpikir mengonsumsi, den menyalurkan tenaga listrik serta cara berkendara dari dan ke tempat kerja," tutur Presiden dan CEO dari World Resources Institute, Andrew Steer. (Rie/Tnt)
Advertisement