Liputan6.com, Vienna - Kulit manusia amat lunak jika dibandingkan dengan cangkang keras kura-kura. Siapa menyangka, bahwa gen yang penting untuk protein kulit dimiliki oleh nenek moyang dari kura-kura yang juga nenek moyang manusia pada 310 juta tahun lalu.
Dikutip Science Daily, Senin (30/11/2015), studi yang diterbitkan di jurnal Molecular Biology and Evolution menjelaskan bahwa cangkang kura-kura merupakan konsep sukses dari perkembangan evolusioner, dan fungsinya yang untuk membela diri menjadi pembeda kura-kura dan penyu dari reptil lainnya.
Dalam studi, grup yang dipimpin oleh Leopold Eckhart menginvestigasi gen yang bertanggung jawab untuk lapisan kulit cangkang kura-kura spesies Eropa terrapin dan Amerika Utara, untuk membandingkan mereka dengan gen kulit manusia.
Advertisement
Penemuan menunjukkan bahwa kerasnya cangkang kura-kura terbentuk dari mutasi di grup gen yang disebut Epidermal Differentiation Complex (EDC). Perbandingan data genome dari beberapa jenis reptil menunjukkan bahwa mutasi EDC yang bertanggung jawab terjadi saat kura-kura terpisah dari reptil lainnya pada 250 juta tahun lalu.
Yang mengagumkan adalah bagaimana struktur dasar gen EDC mirip pada manusia dan kura-kura. Hal itu mengantarkan pada kesimpulan bahwa gen ED prototipe berkembang dari nenek moyang yang sama, yang hidup 310 juta tahun lalu dan mirip dengan reptil modern.
Pada kura-kura, gen tersebut berkembang untuk membentuk protein yang bekerja mengeraskan lapisan luar cangkang, membentuk pengaitan sel, dan membentuk formasi cangkang. Pada manusia, gen EDC melindungi kulit dari mikroba dan penyebab alergi.
Studi baru tersebut menunjukkan gen revolusioner evolusioner memiliki fungsi pelindung baik pada manusia dan kura-kura. Diharapkan bahwa membandingkan kulit manusia dan hewan akan menyediakan pengertian yang lebih baik mengenai interaksi protein.
Pada masa mendatang, pengetahuan yang diambil bisa diaplikasikan pada bidang medis, seperti pengembangan pengobatan psoriasis, kondisi kulit dimana mutasi gen EDC ditemukan.
Berpartisipasi dalam studi, antara lain: Center for Integrative Bioinformatics Vienna (CIBIV), Max F Perutz Laboratories, University of Vienna; University of Veterinary Medicine of Vienna, Schönbrunn Zoo dan University of Bologna. (Ikr/Rie)*