Liputan6.com, Jakarta - Kebakaran hutan dan lahan masih menjadi momok di Tanah Air. Tiap tahun bencana tersebut selalu berulang.
Karena itu Indonesia kini menggandeng 2 negara untuk membantu mengatasi persoalan tersebut. Kedua negara itu, yakni Finlandia dan Kanada. Kerja sama itu mulai dijajak dalam pertemuan perubahan iklim (COP) 21 di Paris.
"Kanada itu sudah melakukan kerjasama pembangunan kapasitas. Kenapa Kanada? Forest fire (kebakaran hutan) kita kan lahan gambut dan mereka kemampuan untuk hal itu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir di kantornya, Jakarta, Kamis (3/12/2015).
"Yang kedua kita akan jajaki kerjasama dengan Filandia mereka memiliki banyak pengalaman menangani masalah gambut," tutur dia.
Baca Juga
Sebagian besar titik kebakaran adalah lahan gambut. Karena itulah Indonesia berniat menggandeng Finlandia dan Kanada yang telah lebih berpengalaman.
"Bila terjadi kebakaran karena lahan gambut tidak hanya menyiram air karena tidak akan mudah mati. Harus dengan teknik khusus," ucap Tata.
Namun, dia menyatakan, untuk soal pendanaan belum ada pembicaraan.
Presiden Jokowi menginstruksikan pembangunan kanal lahan gambut di seluruh hutan Indonesia agar terus dilanjutkan. Pembangunan kanal gambut dianggap paling solusi paling realistis dalam mengantisipasi bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut di Indonesia.
Advertisement
Bahwa kebakaran hutan di Indonesia tak sama dengan yang terjadi di negara lain, diakui oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
"Kebakaran di Indonesia tidak seperti umumnya. Sangat sulit untuk dipadamkan. Api membara di bawah permukaan tanah dalam waktu yang lama, sering kali selama berbulan-bulan," demikian Liputan6.com kutip dari situs NASA.
Badan antariksa tersebut menambahkan, asap bersumber dari pembakaran lahan gambut yang basah di perairan Kalimantan dan Sumatra.
"Kebanyakan pembakaran dilakukan di lahan gambut yang menganggur dan sudah dibersihkan, api menembus bagian bawah tanah yang basah, yang menjadi sumber bahan bakar tak terbatas," kata David Gaveau dari Center for International Forestry Research.