Liputan6.com, Jakarta - Pascaserangan teror 9/11 pada 11 September 2001, Al Qaeda menjadi momok dunia. Dan belakangan, ISISÂ yang berbasis di Irak dan Suriah menebar horor ke seantero Bumi: mengebom Prancis, mempertontonkan eksekusi sadis, mendalangi penembakan dan aksi teror lainnya.
Amerika Serikat, Prancis, Rusia, Uni Eropa mengirimkan kekuatan militernya untuk menghancurkan markas ISIS, memutus dukungan finansial, sekaligus membendung penyebaran ideologinya, terutama lewat internet. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal (Pol) Saud Usman Nasution mengatakan, pada masa lalu, Indonesia telah menghadapi gerakan radikalisme.
Advertisement
"Tak ada ISIS pun kita sudah siap. Pihak keamanan mengembangkan konsep dan strategi agar apa yang terjadi di masa lalu tak terulang kembali," kata dia dalam diskusi yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta Selasa (8/12/2015) soal solusi melawan ISIS.
"Sejak kita merdeka pun, radikalisme sudah ada," tambah dia.
Jenderal Saud mencontohkan sejumlah gerakan yang muncul di masa lalu seperti NII (Negara Islam Indonesia), DI/TII, Kahar muzakar, dan gerakan Daud Beureueh.
Baca Juga
Gerakan radikalisme juga muncul pada masa pemerintahan Orde Baru, juga belakangan ini.
Untuk menanggulangi terorisme di Indonesia, tambah Kepala BNPT, tak sekedar menangkap pelakunya, tapi juga mencari tahu apa motivasinya.
"Ada dendam, rasa ketidakadilkan, kesenjangan sosial, kemiskinan, bahkan dampak otonomi yang tak berpihak pada rakyat. Selain itu memang adayang mau mendirikan khilafah," tambah Saud. "Sebenarnya yang mendukung khilafah sedikit, namun diperparah akar-akar permasalahan tersebut."
Fakta menunjukkan, Saud menambahkan, aksi terorisme di Indonesia seringkali dilatarbelakangi permasalahan yang terjadi di luar negeri.
Fakta Mengejutkan
Misalnya, Bom Bali I tahun 2002 dilatarbelakangi dendam atas penangkapan AS terhadap anggota Al Qaeda pasca-serangan teror 9/11.
Pun dengan pemboman Bom Marriott pada 2003 yang dilatarbelakangi perang AS melawan teror. "Para pelaku mengira hotel itu milik AS, padahal cuma franchise," kata Saud, menambahkan bahwa fakta-fakta tersebut didapat dari fakta persidangan.
Saud menambahkan, bom Kedubes Australia 2004 dilatarbelakangi dendam pada Australia membantu Polri membentuk pasukan antiterorisme. Sementara, Bom Bali II pada 2005 dilatarbelakangi bombardir atas Baghdad, Irak.
"Sementara, untuk teror Ritz Carlton 2009, pelaku merasa AS mendukung Isral menyerang Palestina," kata Saud.
Mantan Kadensus 88 itu menambahkan, hanya pemidanaan atau mengirim para pelaku ke penjara tak akan menyelesaikan masalah.
"Karena pikiran mereka ke akhirat, untuk mati sahid," kata dia.
Maka, aparat Indonesia melakukan pendekatan soft approach, melakukan deradikalisasi, diagnosa untuk menentukan langkah rehabilitasi.
"Untuk merebut hati mereka, mengubah mindset radikalisme mereka, yang sudah di akhirat ke alam dunia."
Saat ini sekitar 700 mantan pelaku terorisme yang sudah kembali ke tengah masyarakat. BNPT, khususnya, memberi mereka dukungan agar tidak kembali ke jalur radikal. "Ini bukan berarti kita mendukung teroris," tegas Saud.