Liputan6.com, Sichuan - Pada 30 November 2015, Deng Shuchao yang putus asa memutuskan melompat dari jembatan. Nyawanya melayang setelah tubuhnya terhempas di Sungai Jinsha, di dekat kampung halamannya di Panzhihua, Sichuan, Tiongkok.
Tiga hari setelah bunuh diri, jasad sopir taksi berusia 25 tahun itu masih mengambang di sungai. Diikat di sebuah batu agar tak hanyut.
Keluarganya tak kuasa mengevakuasi jenazahnya, bahkan menyentuh sekalipun. Itu hal tabu. Ketidakberuntungan diyakini akan menimpa mereka jika melakukannya.
Namun, para nelayan yang ada di sana tak sudi meminggirkan jasad Deng cuma-cuma. Mereka menuntut bayaran 18 ribu yuan atau Rp 39 juta -- jumlah yang terlalu besar untuk keluarga sederhana itu.
Dan selama 3 hari, keluarga Deng menanti di pinggir sungai, menangis, dan meminta belas kasih para nelayan di sana. Pemandangan nelangsa, saat ayah, ibu, dan adik korban bercucuran air mata sambil memandang jasad yang terapung itu, terekam kamera.
Seperti dikutip dari South China Morning Post, polisi pun datang. Namun, yang aparat hanya bisa membujuk pasangan yang berduka itu untuk meminjam uang dari kerabat, sambil mencoba mendapat 'diskon'.
Ayah Deng mengaku, ia sudah memohon sedemikian rupa agar para nelayan mengevakuasi jasad putranya. Namun mereka menolak melakukannya tanpa bayaran.
"Ada 6 nelayan. Aku memohon pada mereka, menangis, dan menawarkan masing-masing 200 yuan (Rp 435 ribu). Namun, mereka bergeming," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari News.com.au, Selasa (15/12/2015).
Baca Juga
Tindakan para nelayan memang tak berperikemanusiaan. Namun, Jiang Jian, profesor hukum dari Sichuan Normal University mengatakan, meminta sejumlah uang sebagai imbalan mengangkut jasad manusia bukanlah pelanggaran.
Sementara, artikel China Daily menuliskan bahwa nelayan tersebut tak bermoral. Di sisi lain, hal tersebut menguak sebuah fakta menyedihkan.
"Akar dari permasalahan adalah tidak adanya layanan publik," demikian opini yang tertulis di media tersebut.
"Saat pemerintah tak bisa melakukan apapun, muncul orang-orang yang menjadikannya alat mencari uang -- meminta bayaran dari keluarga yang ingin memakamkan orang-orang terkasih."
Advertisement
Baca Juga
Yang paling buruk adalah ketika polisi datang, yang mereka lakukan hanya meminta diskon. Alih-alih membantu pasangan yang berduka itu. "Padahal mereka terlatih dan mampu mengangkat jenazah itu dari sungai namun mereka tak melakukannya."
Tak hanya para nelayan yang 'mata duitan'. Polisi juga dianggap layak dicaci.
Itu bukan kisah baru di China. BBC melaporkan pada 2010 bahwa para nelayan pencari jasad menghasilkan banyak uang di Sungai Kuning.
Wei Xinpeng yang saat itu berusia 55 tahun mengaku mengevakuasi lebih dari 500 jasad, dengan meminta imbalan uang. Beberapa dari mereka tenggelam, lainnya bunuh diri.
"Aku mengembalikan kehormatan mereka yang meninggal," kata dia.
Putranya, tenggelam di sungai yang sama, jasadnya tak pernah ditemukan. "Sebuah pengalaman yang menyakitkan, itulah mengapa aku mulai melakukannya."
Sementara itu, Global Times melaporkan, pada 2009 tiga mahasiswa tenggelam di Provinsi Hubei saat melakukan hal mulia -- berusaha menyelamatkan 2 anak yang tenggelam.
Nelayan menemukan jasad mereka dan menuntut teman-teman sekelasnya untuk membayar.
Sementara, media berbahasa Inggris Sina melaporkan, ada pasangan yang tenggelam di sungai di Provinsi Zhejiang pada 2013. Nelayan yang mengevakuasi menuntut bayaran dari penduduk setempat.