Sukses

Suku Dukha: Penggembala Rusa Kutub yang Tersisa di Muka Bumi

Generasi muda yang enggan meneruskan tradisi, juga lahan tinggal mereka dianggap hutan nasional, sehingga mereka tak bisa berburu.

Liputan6.com, Ulan Bator - Lebih dari ribuan tahun, orang-orang Dhuka, atau yang dikenal dengan Tsaatans telah tinggal di pedalaman di tengah hutan di utara Mongolia. Berpindah dari satu padang rumput ke padang lainnya setiap 7 hingga 10 minggu, komunitas kecil ini adalah suku nomadis penggembala rusa kutub yang tersisa di muka bumi.

Orang asli Rusia Siberia dan Mongolia yang tinggal utara jauh di Provinsi Khovsgol itu bergantung pada rusa bertanduk panjang untuk mereka bertahan hidup. Tak hanya itu, rusa kutub itu adalah lambang budaya dan spirit suku Dukha.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan mereka di pedalaman terancam. Tradisi kuno yang mereka milikipun berisiko tamat.

"Mereka jelas adalah kelompok masyarakat yang kini tengah sekarat menghadapi era modern," kata antropolog dari Harvard, Hamid Sardar-Afkhami, seperti dilansir dari CNN, Rabu (16/12/2015)

Sardar, yang menghabiskan hidupnya dengan tinggal bersama orang Dukha sekaligus mendokumentasikan cara mereka bertahan, mengatakan bahwa sebelumnya ada 200 keluarga tinggal di daerah pedalaman di Mongolia. Namun, sekarang ini, ia memperkirakan hanya tersisa 40 keluarga dengan 1.000 rusa kutub.

"Jumlah keluarga menurun karena banyak diantara mereka memutuskan untuk tinggal dengan komunitas mainstream," ujar Sardar.

"Banyak di antara mereka pindah ke kota-kota bahkan tinggal di ibu kota," tambahnya.

Tak hanya itu, ancaman terbesar yang dihadapi Suku Dhuka adalah keengganan genarasi mudanya yang menolak untuk tinggal di kondisi yang keras di Taiga atau hutan salju.

Suku Dukha: Penggembala Rusa Kutub yang Tersisa di Muka Bumi (AFP)

"Mereka ingin turun gunung, tinggal di kabin hangat saat musim dingin. Mungkin membeli mobil dan mengendarainya," kata Sardar lagi.

"Jelas itu adalah godaan terbesar dari kehidupan modern. Susahnya menjalankan kehidupan tradisional sebagai gembala rusa kutub jelas memainkan faktor," beber Sardar.

Ancaman modernisasi tidak hanya itu, namun adanya penambangan emas di kawasan yang biasa mereka tinggali mengakibatkan susutnya jumlah komunitas tersebut.

"Pemerintah juga menutup kawasan berburu orang Tsaatans karena dianggap sebagai taman nasiona yang dilindungi. Gerakan mereka kini terbatas dan kemungkinan mereka sudah tak bisa hidup dengan cara berburu lagi," ujar Sardar lagi.

Sebagai kompensasi, pemerintah membayar mereka sebesar US$ 150 per keluarga per bulannya, yang menurut Sardar hal itu sangat menyedihkan.

"Saat kau membayar mereka sebagai kompensasi untuk tidak berburu, itu sama saja merusak dan menghancurkan kebudayaan mereka," kata pria itu.

Untuk lebih menambah kesengsaraan Dukhas, jumlah rusa telah menyusut secara dramatis akibat penyakit dan kurangnya perawatan yang tersedia.

Bergantung pada Pariwisata

Faktor-fator itu akhirnya membuat beberapa orang suku Dukha bergantung pada turis.

Pariwisata menjadi pemasukan terbanyak bagi mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan jasa pariwisata menawarkan paket wisatanya untuk mengunjungi komunitas Dhuka sebagai bagian dari renana perjalanan ke Mongolia.

Namun, para turis diwajibkan bisa naik kuda serta bersedia menghabiskan waktu berhari-hari menuju tempat Suku Dhuka tinggal. Belum lagi jalanan yang berbatu dan terjal. Banyak turis tak sanggup melakukan perjalanan itu.

Akibatnya, orang-orang Suku Dhuka yang harus menuju tempat para turis tinggal. Mereka membangun tenda seakan-akan itu adalah rumah mereka di dekat Danau Khovsgol, daerah favorit para wisatawan.

Suku Dukha: Penggembala Rusa Kutub yang Tersisa di Muka Bumi (AFP)

Dipimpin oleh Enkhatuya, sebagai kepala suku dan dukun, sekolompok keluarga Dhuka menawarkan turis merasakan bagaimana menjadi mereka, tanpa perlu pergi ke tempat asal di dalam hutan.

Enkhatuya mengakui, bahwa hidup semakin susah bagi orang-orangnya.

"Ini alasan kami turun gunung tiap musim panas menuju Danau Khovsgol. Kami butuh uang agar kami bisa bertahan hidup di musim dingin," ungkapnya.

Kontroversi

Rusa, khususnya, telah menjadi daya tarik terbesar di antara pengunjung. Mereka dengan senang hati membayar 5.000 Tugrik Mongolia atau sekitar US$ 2.5 untuk satu kali kesempatan foto.

Menilai dari jumlah bus yang datang dan pergi, satu keluarga itu bisa dengan mudah mendapat uang sekitar US$ 200 per hari.

Ini adalah banyak uang dengan standar Mongolia, di mana rata-rata pekerja mendapatkan US$ 330 per bulan.

Tapi banyak wisatawan yang justru prihatin dengan kondisi rusa-rusa kutub itu, sehingga beberapa perusahaan perjalanan, seperti Travel Melbourne, Australia yang berbasis di Intrepid, mencegah mengunjungi suku.

"Banyak wisatawan yang berpendapat bahwa daerah ini bukan lingkungan terbaik untuk rusa karena mereka hewan yang biasa hidup di iklim dingin dan dibawa ke Danau Khovsgol yang hangat sehingga penggembala bisa mendapatkan keuntungan dari pariwisata," kata Timur Yadamsuren, pemandu lokal dan Country Manager untuk Travel Intrepid di Mongolia.

"Untuk alasan ini Travel Intrepid tidak merekomendasikan kegiatan ini."

Enkhatuya menolak tuduhan dan mengatakan, "Sebagai budaya, kami punya hubungan batin yang erat dengan rusa-rusa itu. Kami tidak pernah menyakiti rusa-rusa itu seperti yang mereka kira."

Suku Dukha: Penggembala Rusa Kutub yang Tersisa di Muka Bumi (Jerry Haigh)

Meskipun populasi rusa menurun, dia percaya budaya Dukha akan terus berkembang.

"Orang-orang muda kami kembali untuk melanjutkan tradisi leluhur kami," katanya. "Mereka dekat dengan suku dan budayanya. Mereka terus berbicara bahasa ibu kita." Bahkan, cucu Enkhatuya telah mengikuti jejaknya dan menjadi dukun.

Meski sang dukun optimis, tapi tidak bagi Sardar. Ia yakin cara kuno hidup mereka kini jalan menuju kepunahan.

"Mereka yang terakhir dari jenis mereka," kata Sardar.

"Bahkan jika mereka bertahan hidup, bahkan jika mereka meninggalkan budaya menggembala rusa, budaya mereka akan mati," tutup Sardar.

Video Terkini