Liputan6.com, New York - Ketika layanan pengangkutan berbasis aplikasi menciptakan gunjang-ganjing di Indonesia, layanan sejenisnya di Amerika Serikat malah menapak semakin tegar. Seperti layanan Uber yang menjajal dunia dalam tata busana (fashion).
Kebanyakan perusahaan perintis mencoba initial public offering (IPO) untuk menggalang dana. Dalam kasus ini Uber cukup beruntung karena mendapatkan suntikan dari raksasa Microsoft. Dengan demikian, nilai perusahaan telah melebihi US$50 billion—senilai Rp 697,5 triliun. Jika dibandingkan, Facebook meraih nominal itu sebelum go public.
Baca Juga
Mengapa begitu? Seorang mantan penanam saham pertama, Jason Calacanis, mengatakan, “Tidak ada yang lain yang memiliki jaringan logistik besar secara real time seperti Uber.”
Advertisement
Dikutip Highsnobiety, Jumat (18/12/2015), Uber di AS telah merambah pasar jasa hantaran makanan UberEATS (Agustus) dan pelayanan antar paket UberRUSH (Oktober), semuanya dengan kenyaman menekan layar, bertemu pengemudi, dan hanya tinggal menikmati waktu.
Baca Juga
Sebelum mengumumkan UberRUSH, perusahaan itu membeberkan rencana progam pengiriman e-commerce untuk dimulai di musim gugur 2016. Sejumlah informasi kalangan menyebut New York sebagai lahan pertama untuk menjajal pengiriman busana papan atas yang bertebaran di toko-toko di Manhattan.
Melirik dunia busana bukanlah kebetulan. Merujuk kepada Wall Street Journal, Uber sempat kedahuluan Postmates, Inc. yang menggandeng Apple, Inc. dan Starbucks.
Nah, dunia busana belum banyak dilirik. Hingga 2013, sekitar 50% perdagangan busana dan pakaian secara online dikembalikan kepada pengecer, dengan berbagai alasan. Ini menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan bagi pembeli maupun penjual.
Jika dilihat nilainya, CEO ASOS, Nick Robertson, mengatakan kepada Reuters bahwa penurunan 1% pada pengembalian barang berdampak pada peningkatan keuntungan US$16 juta—senilai Rp 223 miliar—pada perusahaan!
Di awal pembentukannya, Uber mengejar kerumunan kelas atas yang mencari pilihan lain untuk pengangkutan. Baru belakangan ini mereka menyadari keuntungan besar jika model bisnisnya menyasar orang kebanyakan—lalu hadirlah UberX.
Semoga saja kesalahan itu tidak diulangi dalam dunia tata busana (fashion) yang sedang digadangnya. Daripada fokus ke butik kelas atas dan 1% orang terkaya yang sudah terbiasa memanjakan diri belanja secara pribadi, Uber selayaknya menjadi rekanan toko dan pengecer yang memiliki cakupan demografi yang lebih luas.
Jika kita membuat asumsi kasar, katakanlah pakaian meraih 10% perbelanjaan, maka ini sama dengan Rp 121 miliar di AS. Karena ada kira-kira 50% pengembalian barang, maka ada uang senilai lebih dari Rp 55,8 miliar kembali dari pembeli ke penjual. Bukan nilai yang sepele.
Apapun halnya, baik untuk merek mapan yang ingin melesat ataupun seseorang yang hanya mengintip ke dalam dunia busana, gelombang perdagangan masa depan tidak bisa lepas dari kenyamanan. Itu kuncinya. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Mengenai fashion di New York, video singkat dari FashionBomb ini bisa memberi gambaran singkat: