Liputan6.com, Madaya - Penduduk di Kota Madaya di Suriah yang letaknya hanya selemparan batu jauhnya dari ibu Kota Damaskus mengatakan, mereka nyaris mati kelaparan. Kondisi itu tercipta akibat kota tersebut dikepung oleh para tentara yang loyal kepada pemerintah Bashar al-Assad sejak Juli 2015. Mereka dikelilingi ranjau darat yang siap meledak jika mereka ingin keluar dari kota itu.
Banyak keluarga harus makan daun, rumput, dan air yang diberi bumbu. Para pedagang menjual beras dalam hitungan gram, sebab harga per kilogram senilai US$ 250 atau sekitar Rp 3,5 juta! Beberapa di antaranya terpaksa membunuh dan memakan binatang piaran mereka.Â
"Orang-orang mati perlahan," kata Louay, seorang pekerja sosial kepada The Guardian lewat percakapan telepon pada Rabu 6 Januari 2015. Suaranya terdengar lemah tanda kelaparan.
Advertisement
"Kami punya tumbuhan yang tumbuh di pot. Kemarin, kami memutuskan untuk memakan kelopaknya. Rasanya pahit, tidak enak," ujarnya lagi.
Baca Juga
Sang aktivitis itu mengirimkan beberapa foto pria lanjut usia yang kondisinya tinggal kulit dan tulang. Ia sendiri enggan mengirimkan fotonya kepada Guardian, tapi mengatakan para pria itu adalah orang-orang terpandang.
"Dahulu, kami pernah mengatakan, tak seorang pun bisa mati karena kelaparan. Namun sekarang, dengan mata kepala sendiri aku melihatnya," kisahnya lagi.
Seorang aktivis lainnya mengirim foto anak-anak kelaparan. Si anak sedang duduk di kereta dorong dengan tangan diinfus karena ia terlalu lemah untuk bergerak--kelaparan. Anak-anak lainnya yang mampu bergerak dan seharusnya berada di sekolah memilih mengambil risiko untuk mencari tumbuh-tumbuhan di lahan yang ditanami ranjau. Tak sedikit dari bocah-bocah itu yang harus kehilangan kakinya.
"Mau keluar cari bantuan? Nyawa taruhannya!" kata aktivis kemanusiaan itu.Â
Kendati sulit untuk memverifikasi laporan aktivitis itu karena kota tersebut dikepung tentara al-Assad, namun beberapa saksi mata yang berhasil kabur dari kota itu membenarkan kondisi Madaya. Para warga sangat kekurangan makanan, obat-obatan dan listrik.
"Mau itu perempuan, laki-laki, anak-anak baik mereka yang berusia 70 atau 20 tahun, kalian akan kehilangan berat hingga 15 kilogram," kata Ebrahim Abbas, salah seorang pembelot yang dulu pernah menjadi tentara Suriah.
"Kalian bakal menemukan mata-mata kelaparan dan tak bersinar di wajah anak-anak," ujarnya lagi.
Dihukum karena Melawan Assad
Lebih dari 30.000 orang 'terjebak' di Madaya semenjak Juli 2015. Di bawah kepungan tentara pro pemerintah. Mereka diperlakukan bak pion dan sandera di tengah-tengah konflik. Dihukum karena kebanyakan warga di situ adalah mereka yang anti terhadap Assads.
Pada musim semi tahun lalu, koalisi pemberontak yang dikenal dengan nama Jays al-Fateh ditangkap. Mereka adalah warga kota Madaya, Fua dan Kefraya. Balas dendam, rezim Assad mengepung warga kota itu dan membiarkannya kelaparan.
Dalam suasana gencatan senjata Oktober 2015 lalu, tim bantuan internasional diperbolehkan masuk, meski bantuan dibatasi. Akibatnya simpanan makanan kini menipis.
"Saya bersumpah sama Tuhan, mungkin kalian tak percaya karena ini terdengar fantastis, hari ini aku mencoba membeli makanan. Namun, sekilo beras 100 ribu pounds Suriah," kata Louay lagi dengan histeris.
"Sekilo nasi, bulgur, lentil, gula, semua 100 ribu! Itu yang bisa kau temukan di pasar," bebernya.
Di pasar gelap, 100.000 pounds itu sekitar US$ 250 atau Rp 3,5 juta.
Orang-orang begitu lemah sehingga mereka sering pingsan. Kelaparan semakin parah karena udara yang dingin.
Kendati dekat dengan hutan, namun para sniper berjaga. Para warga bercerita mereka tega menembaki penduduk yang mencoba mengambil ranting untuk kayu bakar.
"Tentara pendukung Assad memblokade jalanan utama, sementara kalau lewat jalan alternatif atau perbukitan mereka telah menanam ranjau," kata seorang guru yang enggan disebutkan namanya.
"Tidak ada cara untuk menjelaskan kepada anak-anak ini. Mereka mengatakan mereka lapar, namun mereka juga harus belajar," tambahnya lagi.
"Di sini, kami tak bisa lagi meminta tolong," kata Louay.
"Meski kami telah berkali-kali berteriak minta tolong, tak seorang pun mau datang. Kami ingin bertanya kepada mereka para pengambil keputusan, bagaimana kalau mereka di posisi kami? Anak-anak mereka nyaris mati kelaparan? Bagaimana?..."Â Louay menuturkan.*