Liputan6.com, Miami - Warga Bumi telah mengalami dua kali pertempuran dalam skala global. Perang Dunia I yang berlangsung 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918 dan Perang Dunia II pada tahun 1939 sampai 1945 -- yang diakhiri dengan jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Sejumlah orang berpendapat, Perang Dunia III mungkin kembali terjadi, yang dikaitkan dengan panasnya situasi di Timur Tengah atau di tengah teror ISIS.
Baca Juga
Perang skala global bisa jadi terjadi. Namun, mungkin tak lagi memerluka bom atau tank. Perang Dunia III disebut-sebut akan berlangsung di dunia maya.
Advertisement
Jika itu terjadi, ISIS dianggap lebih siap menghadapi perang siber (cyber), dibanding kekuatan militer Barat manapun.
Seperti itulah peringatan dari John McAfee, tokoh terkemuka bidang keamanan online, kepada pihak militer Amerika Serikat.
John mengatakan, dunia Barat hidup dalam 'mesin hari kiamat buatan kita sendiri', dan cuma perkara waktu saja sebelum senjata dan teknologi berbalik melawan.
Pencipta program antivirus komputer komersial pertama ini menyebut, Amerika Serikat mungkin sangat siap menghadapi pertempuran tradisional, akan tetapi ISIS jauh unggul dalam hal perang cyber. Kelompok militan itu dilaporkan menggunakan media sosial untuk merekrut personel baru dengan kemampuan meretas (hacking) yang dikenal dengan sebutan hacker.
Baca Juga
Dalam tulisannya di International Business Time, McAfee memperingatkan pemerintahan AS soal ketidakmampuan mereka dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi perang.
"Tak seorang pun bisa memprediksi masa depan. Kita bisa membuat tebakan yang berdasar, atau secara lebih berhati-hati, mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan dan skenario yang berbeda-beda. Dan untuk skenario pertempuran cyber, kita benar-benar sangat tak siap -- bahkan bisa dibilang tak berdaya (defenceless)," tulis McAfee, seperti dikutip dari News.com.au, Jumat (8/1/2016).
"Persenjataan kita, peluru, bom, tank, pesawat terbang, kapal, misil dan kemampuan nuklir hanya bisa disaingi oleh beberapa saja, dan mungkin tak ada yang mengalahkan. (Namun) tak ada dari ini yang berarti dalam perang cyber -- sebuah fakta yang dapat menghancurkan kita saat senjata dan peralatan kita dibuat berbalik melawan kita dengan menggunakan komputer."
McAfee menyebutkan kalau Amerika Serikat dan negara barat lainnya disibukkan dengan perdebatan, tentang perlu tidaknya mengirim pasukan darat ke Timur Tengah, atau tentang bagaimana cara terbaik menyerang ISIS dengan mesin tempur besar.
"Faktanya ialah aturan keterlibatan (rules of engagement) dalam konflik Abad ke-21 yang terletak di sepanjang garis yang berbeda," sebutnya.
McAfee mengatakan kalau pemerintah membiarkan jaringan terbuka sehingga rentan akan diretas.
"Kalau kita tak bisa melindungi jaringan kita, segala hal yang terhubung dengannya bisa disusupi peretas. Dalam dunia modern, ini termasuk jaringan listrik, stasiun pembangkit listrik tenaga nuklir, pesawat terbang, mobil dan keseluruhan infrastruktur finansial kita. Hal-hal ini akan menjadi senjata perang cyber -- berbalik melawan kita karena penyimpangan dari tujuan awalnya," tambahnya lagi.
"Kita hidup dalam mesin hari kiamat buatan kita sendiri -- yang kalau diaktifkan akan membuat Perang Antietam (Battle of Antietam) terlihat seperti piknik di hari minggu."
Direktur Australian Center for Cyber Security di UNSW, Profesor Jill Slay menyebutkan walau sebagian prediksi McAfee tersebut ada benarnya, dia akan berhati-hatidengan semua sensasi perang cyber ini.
"Kita sudah tahu tentang ketidakamanan di berbagai bagian infrastruktur, internet, telepon selular, dan itu dieksploitasi setiap saat. Kau harus benar-benar pintar untuk melakukan apa yang disarankan (oleh McAfee)," kata Prof. Slay.
Prof. Slay menambahkan kalau ada dua mazhab yang menyangkut antisipasi terhadap perang cyber ini, dan dia sudah meneliti keduanya secara menyeluruh.
"Ada kelompok yang sangat percaya kalau perang cyber akan terjadi, dan kelompok yang tidak,” jelasnya.
"Kebanyakan peneliti akan tiba pada pernyataan kalau perang yang potensial terjadi adalah perang kinetik yang normal, tapi disertai apa yang bisa disebut sebagai efek cyber. Perang cyber memanipulasi teknologi, dan kita tahu kalau infrastruktur itu rentan, tapi anda harus punya tim peretas yang sangat pintar dan punya dana sangat memadai," papar Prof. Slay.
Seperti yang diisyaratkan oleh McAfee, ISIS mencoba memasarkan dirinya sebagai tim yang demikian.
Prof. Slay mengakui kalau teknologi dan potensi kerusakan yang bisa ditimbulkan peretasan telah mengubah cara bermain, karena hanya perlu beberapa orang yang sangat cerdas untuk bekerjasama meluncurkan serangan cyber ke suatu sistem negara atau pemerintahan tertentu.
Walau ISIS telah merekrut banyak ahli untuk bertempur 'di level informasi', Prof. Slay mengatakan kalau pemerintah dan badan-badan intelijen sudah bekerja secara diam-diam untuk menangkal serangan cyber di masa depan.
"Kita perlu memahami siapa orang jahatnya, apa saja yang mereka punyai dan apakah ada kemungkinan mereka melancarkan serangan atau pengintaian cyber semacam itu. Namun sejauh yang saya tahu, perang cyber baru sekedar sensasi."
Australia punya pengalaman dengan spionase cyber baru-baru ini, saat data Biro Meteorologi dicuri, namun Prof. Slay menjelaskan kalau ini tak bisa dikelompokkan sebagai serangan.
Dia menambahkan, walau ragu kalau perang dunia cyber akan jadi kenyataan, pemerintah harus bersiap sebaik mungkin terhadap ancaman keamanan.
"Kita telah menciptakan sebuah lingkungan di mana masyarakat bisa menggunakan internet sebagai senjata, namun itu tak semudah yang mungkin dipikirkan sebagian orang," ucapnya.