Liputan6.com, Cologne - Pada malam pergantian tahun beberapa waktu lalu, sejumlah perempuan melaporkan telah menjadi korban pelecehan seksual oleh sekelompok pria.
Polisi Cologne, Jerman menerima setidaknya ada 100 laporan serupa, bahwa para korban setidaknya disentuh, dirampok hingga dilecehkan oleh gerombolan pria. Bahkan ada 2 laporan soal kasus pemerkosaan beramai-ramai.
Para korban dilecehkan di stasiun kereta api. Salah satu dari mereka yang pergi bersama teman prianya bahkan digiring ke suatu tempat dan temannya dipukuli.
Advertisement
Ada sejumlah polisi saat itu, namun tak berdaya dengan gerombolan yang berjumlah lebih dari 30 hingga 40 orang itu. Saksi mata mengatakan para pelaku berusia antara 15 hingga 35 tahun.
Baca Juga
Menurut korban saksi mata dan polisi, gerombolan pria itu diduga berasal dari etnis Afrika Utara dan Arab. Kendati demilian, identitas asli mereka belum dirilis.
Insiden ini membuat tensi di Jerman memanas. Apalagi negeri itu adalah yang paling banyak menerima pengungsi.
Lebih dari 1 juta pencari suaka masuk ke Jerman dalam 12 bulan terakhir, setelah Kanselir Angela Merkel memberikan kebijakan buka pintu selebar-lebarnya bagi mereka.
Belum lagi sejumlah media di Jerman dianggap kurang mengekspos kasus ini, dan polisi tidak segera merespons laporan tersebut. Hal itu diperkirakan karena sensitifnya masalah ini, sebab, menyangkut ras tertentu yang disandang oleh para pencari suaka.
Namun tidak bagi sayap kanan seperti Partai Alternative for Germany (AfD) dan Partai Pegida -- yang anti-Islam. Mereka meminta Merkel untuk menghentikan migrasi massal itu.
Sejumlah grup aktivis perempuan hari Rabu 6 Januari 2016 berunjuk rasa di stasiun utama Cologne. Meminta pemerintah untuk bertindak.
Namun, respons Walikota Colongne, Henriette Reker adalah memberi nasihat di Twitternya soal aturan perempuan tampil di muka umum: untuk menjaga jarak dengan orang asing dan bepergian dalam kelompok. Bu Walikota juga mengajurkan, para wanita berpakaian sopan.
Hal itu membuat netizen murka. Salah satu anggota federal untuk urusan keluarga, Manuela Schwesig, mencela pernyataan itu.
"Larangan rok mini bagi perempuan itu sudah basi," katanya seperti dilansir dari The Guardian, Kamis (7/1/2016). Reker segera meralat kalimatnya dan meminta maaf.
Kriminal Gaya Baru
Walikota Henriette Reker dikenal sebagai walikota yang pernah diserang oleh aktivis anti-pengungsi pada kampanyenya Oktober 2015 lalu. Untuk insiden ini, ia mengatakan kepada wartawan bahwa belum ada bukti para pelakunya adalah pengungsi.
"Hingga kini, saya belum mendapatkan bukti bahwa para pelaku adalah pencari suaka," ujar Reker.
Hal itu dibenarkan oleh kepala polisi Cologne, Wolfgang Albers.
"Sejauh ini kami belum mengetahui siapa mereka, sehingga belum ada bukti bahwa mereka adalah para pencari suaka," kata Albers.
Albers juga mengatakan bahwa pelecehan seksual massal ini merupakan kasus pertama dan kriminal gaya baru. Ia juga menolak mengundurkan diri karena ia tak mau melepas tanggung jawab.
Salah satu korban menceritakan trauma yang ia alami.
"Saya bersama 11 orang perempuan lainnya dikepung oleh mereka. Kami bergandengan tangan, pasrah karena tak seorang pun mampu menolong kami. Mereka begitu banyak. Mereka menyentuh dada, pinggang dan bokong kami. Kami hanya berusaha melepaskan diri dari mereka. Salah satu dari kami kehilangan telepon genggamnya," ujar salah satu korban bernama Michelle yang berusia 18 tahun.
Sejauh ini polisi baru menangkap 4 tersangka.